Selasa, 25 Oktober 2016

Pers Indonesia



Pengertian Pers 

Asal kata jurnalistik itu sendiri adalah Journal atau Du Jour yang berarti hari, di mana segala berita atau warga sehari termuat dalam lembaran yang tercetak. Karenanya kemajuan teknologi sehingga ditemukan alat percetakan surat kabar dengan sistem silinder (rotasi), maka istilah pers muncul. Secara etimologis, katapersdalam bahasa Belanda, atauperssdalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin, yaitupressaredari katapremereyang berarti tekan atau cetak.Dalam pengertian umum, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan I.Taufik dalam bukunyaSejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia.Menurutnya, pers adalah suatu alat yang terdiri dari dua lembar besi atau baja yang di antara kedua lembar tersebut dapat diletakkan suatu barang (kertas), sehingga apa yang hendak ditulis atau digambar akan tampak pada kertas tersebut dengan cara menekannya. 

DalamEnsiklopedia Nasional Indonesia jilid 13disebutkan bahwa pers memiliki dua arti, yaitu arti luas da arti sempit. Dalam arti luas, pers adalah seluruh media baik elektronik maupun cetak yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, ulasan, laporan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Dalam arti sempit, pers hanya terbatas media cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, bulletin dan majalah. 

Secara yuridis formal, pengertian pers disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang pers yang menjelaskan bahwa “pers adalah lembaga sosila dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia”. 

Fungsi Pers 

Dalam bab II pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa “Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa, “Pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Empat fungsi pers secara lebih jelas sebagai berikut : 

1. Informasi (to inform) Fungsi Pers sebagai media informasi adalah sarana untuk menyampaikan informasi secepatnya kepada masyarakat luas. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap, perasaan manusia bisa disebarkan melalui pers. Penyampaian informasi tersebut dengan ketentuan bahwa informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar yaitu aktual, akurat, faktual, menarik, penting benar, lengkap, jelas, jujur, adil, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis. 

2. Pendidikan (to educated) Fungsi penidikan ini antara lain membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial. Pers sebagai media pendidikan ini mencakup semua sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Pers memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan pendidikan politik sehingga masyarakat memahami model Pilkada yang baru kali pertama digelar. 

3. Hiburan (to entertaint) Sebagai media hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. Hiburan disini bukan dalam arti menyajikan tulisan-tulisan atau informasi-informasi mengenai jnis-jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Akan tetapi menghibur dalam arti menarik pembaca dengan menyuguhkan hal-hal yang ringan di antara sekian banyak informasi berita yang berat dan serius. 

4. Kontrol Sosial (Social control) Pers sebagai alat kontrol sosial adalah menyampaikan (memberitakan) peristiwa buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya dan ihwal yang menyalahi aturan, supaya peristiwa buruk tersebut tidak terulang lagi. Selain itu kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan semakin inggi, Hal ini juga demin menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan fungsi kontrol sosial yang dimilikinya tersebut pers disebut sebagai institusi sosial yang tak pernah tidur. 

 
Pers Pada Orde Lama
Orde lama berjalan antara tahun 1945-1966. Pers orde lama dimulai ketika Indonesia merdeka. Wartawan Indonesia mengambil alih percetakan-percetakan asing dan mulai menerbitkan surat kabarnya sendiri. Tidak bertahan beberapa lama, Belanda kembali dan ingin kembali menjajah sehingga surat kabar dalam negeri harus terasing dengan surat kabar Belanda yang melakukan propaganda pemberitaan agar masyarakat mau kembali kepada masa Pemerintahan Belanda. Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya, dan memilih menjalankan demokrasi liberal. Dalam masa ini, pers memiliki kebebasan untuk menerbitkan surat kabar sesuai dengan aliran atau sesuai partai politik yang didukung (kurang lebih sama dengan apa yang dimiliki pers saat ini).
     
Menyusul ketegangan yang terjadi dalam pemerintahan, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian menjadi akhir dari kebebasan pers. Dimulai dari itu, Indonesia menganut demokrasi terpimpin. Sistem otoriter tersebut kemudian memaksa pers untuk tunduk pada pemerintahan. Segala aktivitas dan pemberitaan yang dilakukan oleh pers harus melalui sensor. Bahkan setiap Pers harus memperoleh SIT atau Surat Ijin Terbit dari pemerintah.
     
Pemberedelan beberapa surat kabar dilakukan oleh pemerintah setelah peringatan yang diberikan oleh menteri penerangan, Maladi. Pemberedelan dilakukan bukan hanya kepada surat kabar asing namun juga surat kabar dalam negeri. Pers yang ingin tetap bertahan harus mau menjadi alat pemerintah untuk menggerakkan massa dan mengikuti kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Tidak hanya media pers surat kabar, bahkan media pers televisi yang saat itu hanya ada TVRI bahkan diperalat pemerintah dan menjadi sarana komunikasi politik yang dikuasai pemerintah. Pers yang awalnya adalah pers perjuangkan yang melawan pemerintahan Belanda ( penjajah ) beralih menjadi pers simpatisan yang cenderung menjadi pendukung dari partai-partai politik tertentu.
Pers Pada Orde Baru
Pers pada masa orde baru dimulai ketika pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998). Dari sistem otoriter (paham demokrasi terpimpin) pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto membawa Indonesia kepada sistem Demokrasi pancasila. Pers Indonesia disebut sebagai pers pancasia, yaitu pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.

Sama halnya dengan pemerintahan orde lama, kebebasan pers pada masa orde baru juga terjadi beberapa waktu saja menyusul terjadinya insiden ‘Malari’ atau Lima belas januari 1974. Pers dalam masa orde baru kehilangan identitas sebagai media independen yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Dunia pers dikekang dan mendapat tekanan dari segala aspek. Pers memutuskan terus mengikuti permainan politik pada jaman itu, kemudian banyak media massa yang mempublikasikan tulisan-tulisan berisi kritik terhadap pemerintah beserta keburukan pemerintah, lantas pada tahun 1994 banyak media yang diberedel oleh pemerintah. Tempo adalah majalah satu-satunya yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru melalui publikasi tulisan-tulisan. Pemerintah memegang kendali seluruh aspek, terutama dalam bidang pers, bahkan tidak ada bedanya dengan pemerintahan otoriter Presiden Soekarno. Pada masa orde baru, juga ada SIUPP yaitu Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers ( sama halnya SIT pada kepemimpinan Soekarno), tujuannya adalah agar pemerintah dapat mengontrol secara penuh keberadaan media pers. Dewan pers pada masa orde baru difungsikan oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan pemerintah dan konglmerat saja, bukan melindungi insan pers dan masyarakat.
Pers Pada Reformasi
 
Menyadari betapa kuat pengaruh pers dalam menggerakkan massa melalui tulisan dan pemberitaan, pada masa reformasi (setelah jatuhnya pemerintahan Presiden soeharto) tuntutan akan kebebasan pers disuarakan. Kemudian dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Di dalam Undang-undang yang menyangkut kebebasan pers, tidak ada lagi penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran pada pers nasional. Setelah itu terjadilah booming penerbitan media massa di seluruh wilayah Indonesia yang telah menghasilkan potret dunia penerbitan, namun kebebasan pers menjadi melebar. Jumlah yang terus bertambah, pers penerbitan tidak bisa dikendalikan, pasarlah yang menentukan pers mana yang akan bertahan.
     
Tantangan baru yang harus dihadapi pers pada era reformasi ini adalah menjadi insan pers yang independen atau menjadi alat kepentingan elite politik. mudah saja dapat kita lihat dengan jelas contohnya, berorientasi kepada partai mana media televisi Merah, Media berlambang garuda, atau group-group media besar lainnya, serta keterkaitan pemilik media dengan satu partai politik tertentu? Tentu saja hal ini berpengaruh dalam obyektivitas penyampaian berita dan mengancam berlangsungnya demokrasi. Pemilik media akan menentukan segalanya termasuk berita apa yang akan dipublikasikan hingga orang yang akan dipekerjakan dan dipecat. Orientasi media tentu akan mengarah kepada kepentingan politik dan pribadi.
Sumber :
1.  Tim LSPP. Media Sadar Publik, Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005
2. Marcydreamcatcher.bogspot.com/2011/12/kebebasan-pers-orede-lama-dan-etika.html
3.      3. David T. Hill. The Press In Indonesia New Order. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
 
 
 


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/auliaulya/pers-indonesia-dari-masa-ke-masa_5517f336a333118107b6615d


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/auliaulya/pers-indonesia-dari-masa-ke-masa_5517f336a333118107b6615d
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar