Minggu, 03 Januari 2016

Budaya Populer



Untuk membahas pengertian “budaya populer” ada baiknya kita pahami dulu tentang kata “budaya”, dan selanjutnya tentang “pop”. Selanjutnya untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.
Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu proses umumperkembangan intelektual, spiritual, dan estetis (Williams, 1983: 90). Mungkin rumusan ini merupakan rumusan budaya yang paling mudah dipahami, misalnya; kita bisa bisa berbicara tentang perkembangan budaya Eropa Barat dengan merujuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, estetis para filsuf besar, seniman, dan penyair-penyair besar.
Kedua, budaya berarti “pandangan hidup tertentu dari masyarakat , periode, atau kelompok tertentu (Williams, 1983: 90). Jika kita membahas perkembangan budaya Eropa Barat dengan menggunakan definisi ini, berarti kita tidak melulu memikirkan faktor intelektual dan estetisnya saja, tetapi juga perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus religiusnya.
Ketiga, selain itu Williams juga mengatakan bahwa budaya-pun bisa merujuk pada ”karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik (Williams, 1983: 90). Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk menunjukkan, menandakan (to signify), memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang menciptakan makna tentu. Budaya dalam definisi ketiga ini sinonim dengan apa yang disebut kaum strukturalis dan postrukturalis sebagai ”parktik-praktik penandaan” (signifying practices). Dengan menggunakan definisi ini kita mungkin bisa memikirkan beberapa contoh budaya pop. Sebut saja misalnya; puisi, novel, balet, opera, dan lukisan.
Dengan demikian jika berbicara tentang budaya pop, berarti menggabungkan makna budaya yang kedua dengan makna ketiga di atas. Makna kedua—pandangan hidup tertentu—memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-parktik, seperti liburan ke pantai, perayaan Hari Lebaran, dan aktivitas pemuda subkultur sebagai contoh-contoh budayanya. Semua ahal ini biasanya disebut sebagai budaya-budaya yang hidup (lived
cultures) atau bisa disebut sebagai praktik-praktik budaya. Makna ketiga—praktik kebermaknaan—memungkinkan kita membahas tentang opera sabun, musik pop dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya disebut sebagai teks-teks budaya. Namun ada juga yang memakai definisi pertama Williams untuk budaya pop.
Sedangkan kata ”pop” diambil dari kata ”populer”. Terhadap istilah ini Williams memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983: 237). Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.
Ada satu titik awal (pertama) yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kita bisa melihatnya lakunya album pertama-nya Peterpan. Kita juga bisa meneliti konser, pesta olahraga, festival. Kita bisa melihat kesukaan audiens terhadap program TV melalui riset pasar. Dari pengamatan terhadap berbagai hal tersebut akan memberikan banyak informasi bagi kita.
Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah) Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya pop didefinisikkan sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya. Sebagai contoh, kita bisa berpegang pada kompleksitas formal sebuah budaya pop. Kita juga bisa mempertimbangkan kebermanfaatan moralnya sebagai metode untuk menerapkan pertimbangan nilai tersebut. Kritik budaya yang lain bisa juga menyatakan bahawa pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam tinjauan kritis terhadap teks atau praktiknya. Namun untuk menentukan kebermanfaatan sesuatu cara budaya tidak semudah yang dipikirkan orang. Salah satu kesulitan besar yang dihadapi adalah bagaimana caranya menjaga ekslusivitas budaya tinggi. Secara harfiah, sangat sulit mengesampingkan ekslusivitas audiens suatu budaya tinggi (Storey, 2003: 11).
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieau pernah mengatakan bahwa perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara perbedaan kelas. ”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah ”kelas” dalam hal ini diposisikan dalam aarti ganda, yaitu
kategori sosial ekonomi dan tingkat kualitas tertentu). Bourdieu menyebut satu contoh. ”konsumsi budaya”. Baginya konsumsi budaya sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial (Bourdieu, 1984: 5). Pembatasan ini didukung oleh pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh karena itu budaya tinggi adalah budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan estetis yang lebih, sementara budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikanbnya. Apapun metode yang digunakan oleh mereka yang ingin membedakan antara budaya tinggi dan pop, pada dasarnya mereka sama-sama bersikukuh bahwa perbedaan di antara keduanya memang sangatlah jelas (Storey, 2003: 12).
Lebih jauh, perbedaan itu bukanlah hanya sangat jelas, akan lebih bersifat abadi karena sepanjang waktu. Hal ini terutama berlaku jika perbedaan itu bergantung pada sifat-sifat yang dianggap esensial. Sebenarnya ada beberapa kekeliruan dalam pembatasan tersebut. Misalnya William Shakespeare, sekarang dianggap sebagai pelopor budaya tinggi, padahal pada zamannya karyanya ini hanya dianggap tidak lebih sebuah teater pop. Begitu juga dalam persoalan yang sama terjadi pada Charles Dickens. Film Noir bisa dianggap sebagai penghubung antara budaya pop dan budaya tinggi. Pada awalnya film ini dianggap sinema pop belaka, tetapi sekarang malah dipertahankan oleh para akademisi dan pecinta film sebagai produk budaya tinggi.
Ketiga, mendefinisikan budaya pop sebagai ”budaya massa”.Definisi tersebut sangat tergantung pada definisi sebelumnya. Mereka menyatakan budaya pop adalah ”budaya massa” dengan tujuan menegaskan bahwa budaya massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi massa untuk konsumsi massa. Audiaensnya adalah sosok-sosok konsumen yang tidak memilih. Budaya itu sendiri dianggap hanya sekedar rumusan, manipulatif (misalnya, politik kanan/kiri yang tergantung pada siapa yang meganalisisnya). Budaya ini dikonsumsi oleh tanpa dipikirkan panjang. John Fiske mengungkapkan ”antara 80-90% produk baru gagal walaupun diiklankan dengan kuat....beberapa film gagal kembali modal meskipun hanya biaya promosinya sangat besar (Fiske, 1989; 31). Simon Firth mengemukakan bahwa 80% album single mengalami kerugian. Statistik seperti ini seharusnya mengundang pertanyaan tentang
gagasan ”konsumsi budaya” sebagai aktivitas yang pasif dan otomatis. Mereka yang bekerja dalam perspektif budaya massa biasanya akan memikirkan ”massa keemasan” manakala masalah budaya jauh berbeda dari apa yang difahami sebelumnya. Hal ini biasanya muncul dala dua bentuk; (1) komunitas yang kehilangan organisasinya, atau (2) budaya yangkehilangan daerahnya. Namun seperti diungkapkan oleh Fiske; ”dalam masyarakat kapitalis tidak ada yang disebut sebagai budaya daerah yang otentik untuk mengukur ”ketidakotentikan” budaya massa, yang menyesalkan hilangnya otensitas sebagai akibat kegagalan nostalgia romantik (Fiske, 1989: 27). ”Hal ini juga berlaku pada komunitas organik ”yang hilang”. Mazhab Frankfurt, secara paradoks menempatkan masa keemasan yang hilang ini tidak pada masa lampau , tetapi masa depan.
Dalam beberapa kritik budaya yang ada dalam parigma budaya massa, budaya massa bukan hanya sebagai budaya terapan untuk kaum miskin, tetapi juga bisa diidentifikasi sebagai budaya yang diimpor dari Amerika:”jika kita hendak menemukan budaya dalam bentuk modernnya..., lihatlah kota-kota besar Amerika terutama New York” (Malthy, 1989; 11). Pernyataan bahwa budaya pop merupakan budaya massa Amerika, mempunyai sejarah yang panjang dalam pemetaan teoretis budaya pop. Budaya massa ala Amerika ini seringkali muncul dalam istilah ”Amerikanisasi”. Pengkajian dalam hal ini termasuk merosotnya budaya Eropa Barat di bawah hegemonisasi budaya Amerika. Ada dua hal yang bisa kita katakan tentang kepercayaan diri Amerika dan budaya pop. Pertama, seperti diungkapkan oleh Andrew Ross ”budaya pop secara sosial dan kelembagaan telah berpusat di Amerika dengan jangka waktu yang lebih lama dan lebih signifikan dibanding di Eropa”. Kedua, pengaruh budaya Amerika di seluruh dunia sudah tidak diragukan lagi, tetapi hakikat pengaruh itu sangat kontradiktif. Yang benar adalah pada tahun 1950-an oleh pemuda Eropa Barat (khususnya Inggris), budaya Amerika dimenjaadi sarana liberalisasi menentang ketentuan kaku aturan kehidupan ala budaya Eropa Barat. Hal lain yang cukup jelas adalah bahwa ketakutan terhadap Amerikanisasi sangat erat kaitannya dengan ketidakpercayaan dalam munculnya berbagai bentuk budaya pop.
Terdapat versi lunak darui perspektif budaya massa ini. Teks dan praktik budaya pop lebih dilihat dari sebagai fantasi publik. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Seperti diungkapkan oleh Richard Malthy, budaya pop memberi ruang bagi
”eskapisme yang bukan hanya lari dari, atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian dari utopia kita sendiri” (Maltby, 1989; 14). Dalam hal ini, praktik budaya seperti hari ini Raya Idul Fitri maupun liburan lainnya bisa dikatakan berfungsi layaknya sebuah mimpi. Mereka mengartikulasikan dalam bentuk yang tersamar secara kolektif (tetapi dalam relasi menekan dan tertekan, keinginan dan harapan). Inilah versi lunak dari kritik budaya massa. Maltby mengungkapkan:
Kalau hal ini disebut kejahatan buda pop karena merampas angan-angan kita kemudian mengemas dan menjualnya kembali kepada kita, maka ia juga adalah prestasi, budaya pop yang telah membawa kita pada berbagai angan-angan selain pada angan-angan yang sudah kita kenal (Maltby, 1989: 14).
Definisi keempat, menyatakan bahwa budaya pop adalah budaya yang berasal dari ”rakyat”. Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang beranggaapan bahwa budaya pop adalah sessuatu yang diterapkan pada ”rakyat” dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik ”rakyat”. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan dari rakyat untuk rakyat. Definisi pop dalam hal ini seringkali dikait-kaitkan dengan konsep romantisme budaya kelas buruh yang kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama protes simbolik dalam kapitalisme kontemporer (Benet, 1982; 27). Namun ada satu persoalan dengan pendekatan ini yakni pertanyaan tentang siapa yang termasuk dalam kategori ”rakyat”. Persoalan lainnya adalah hakikat wacana dari mana asal-usul budaya itu terbentuk. Tidak peduli beraapa banyak kita memakai definisi ini, fakta membuktikan bahwa rakyat tidak secara spontan mampu menghasilkan budaya dari dari bahan-bahan material yang mereka buat sendiri. Apapun budaya pop itu, yang pasti bahan mentahnya disediakan selalu secara komersial. Pendekatan ini cenderung menghindar dari kesimpulan ini. Analisis kritis tentang musik pok dan rock sebagian hanya mengulang jenis analisis budaya pop seperti ini. Pada suatu konferensi, ada seorang peserta yang menyatakan bahwa Levi’s tidak pernah bisa menggunakan lagu dari Jam untuk mernjual jeans-nya. Faktanya, mereka malah terbiasa menggunakan lagu dari Clash yang tidak bertentangan dengan keyakinananya. Yang menjadi dasar keyakinannya adalah rasa perbedaan budaya yang kentara. TV komersial untuk jeans Levi’s adalah budaya massa, sementara musik Jam adalah budaya pop. Satu-satunya cara agar keduanya bisa bersatu adalah melalui penjualan Jam. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, maka jeans Levi’s-pun
tidak akan bisa menggunakan lagu Jam untuk menjual produknya. Namun, hal ini sudah terjadi pada Clash suatu Band yang memiliki kecenderungan politiknya sendiri. Tukar menukar akan menghentikannya. Pemakaian konsep budaya hegemoni akan dibahas lebih lanjut.
Definisi kelima budaya pop berasal dari analisis politik tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci, khususnya tentang pengembangan konsep hegemoninya. Gramsci menggunakan istilah ”hegemoni” untuk mengacu pada cara di mana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok subordinasi melalui proses ”kepemimpinan” intelektual dan moral (Gramsci, 1971: 75).
Mereka yang menggunakan pendekatan ini—kadang-kadang disebut teori hegemoni neo-Gramscian—menganggap budaya sebagai tempat terjadinya pergulatan antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam penggunaan ini budaya pop bukan merupakan budaya yang diberlakukan oleh teoretikus budaya massa ataupun muncul secara spontan dari bawah sebagai budaya oposisi seperti yang sudah ada dalam empat definisi budaya pop di atas. Namun sebagai suatu lingkup tukar-menukar, keduanya akan berkelindan dalam rupa perlawanan dan penyatuan (resistensi dan inkorporasi). Teks dan praktik budaya pop bergerak dalam apa yang disebut Gramsci sebagai ”kesimbangan kompromis” (Gramsci, 1971: 161). Proses ini selain bersifat historis (kadang disebut budaya pop ataupun kadang disebut budaya lain), juga bersifat budaya sinkronis (yang bergerak di antara resistensi dan kompromi). Misalnya liburan ke pantai, dahulu dianggap budaya para bangsawan, dan dalam tempo 100 tahun ia berubah menjadi budaya pop. Film Noir pada mulanya dilecehkan sebagai sinema pop, tetapi dalam waktu 30 tahun berubah menjadi film seni. Dalam bahasa umum, mereka melihat budaya pop dalam perspektif Neo-Gramscian cenderung melihatnya sebagai lingkup pertarungan ideologis antara kelas dominan dan subordinasi, budaya dominan dan budaya subordinasinya:
Budaya pop dibangun oleh kelas penguasa untuk memenangkan hegemoni, sembari membentuk oposisi. Dengan demikian ia terdiri bukan hanya dari pemberlakuan budaya massa yang sejalan dengan ideologi dominan ataupun budaya oposisional yang spontan, melainkan sebagai area negosiasi antara keduanya di mana—beberapa tipe budaya yang berbeda dari budaya pop—budaya dominan, subordinan dan oposisional dengan segenap nilai-nilai dan unsur-unsur ideologis ”tercampur” dalam suatu perubahan yang bersifat sekuensial (Benet, 1986: xv-xvi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar