Untuk membahas pengertian “budaya populer” ada baiknya
kita pahami dulu tentang kata “budaya”, dan selanjutnya tentang “pop”.
Selanjutnya untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua
istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.
Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu
proses umumperkembangan intelektual, spiritual, dan estetis (Williams, 1983:
90). Mungkin rumusan ini merupakan rumusan budaya yang paling mudah dipahami,
misalnya; kita bisa bisa berbicara tentang perkembangan budaya Eropa Barat
dengan merujuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, estetis para filsuf
besar, seniman, dan penyair-penyair besar.
Kedua, budaya berarti “pandangan hidup tertentu dari
masyarakat , periode, atau kelompok tertentu (Williams, 1983: 90). Jika kita
membahas perkembangan budaya Eropa Barat dengan menggunakan definisi ini,
berarti kita tidak melulu memikirkan faktor intelektual dan estetisnya saja,
tetapi juga perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus
religiusnya.
Ketiga, selain itu Williams juga mengatakan bahwa
budaya-pun bisa merujuk pada ”karya dan praktik-praktik intelektual, terutama
aktivitas artistik (Williams, 1983: 90). Dengan kata lain, teks-teks dan
praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk menunjukkan,
menandakan (to signify), memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang
menciptakan makna tentu. Budaya dalam definisi ketiga ini sinonim dengan apa
yang disebut kaum strukturalis dan postrukturalis sebagai ”parktik-praktik
penandaan” (signifying practices). Dengan menggunakan definisi ini kita mungkin
bisa memikirkan beberapa contoh budaya pop. Sebut saja misalnya; puisi, novel,
balet, opera, dan lukisan.
Dengan demikian jika berbicara tentang budaya pop,
berarti menggabungkan makna budaya yang kedua dengan makna ketiga di atas.
Makna kedua—pandangan hidup tertentu—memungkinkan kita untuk berbicara tentang
praktik-parktik, seperti liburan ke pantai, perayaan Hari Lebaran, dan
aktivitas pemuda subkultur sebagai contoh-contoh budayanya. Semua ahal ini
biasanya disebut sebagai budaya-budaya yang hidup (lived
cultures) atau bisa disebut sebagai praktik-praktik
budaya. Makna ketiga—praktik kebermaknaan—memungkinkan kita membahas tentang
opera sabun, musik pop dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya
disebut sebagai teks-teks budaya. Namun ada juga yang memakai definisi pertama
Williams untuk budaya pop.
Sedangkan kata ”pop” diambil dari kata ”populer”.
Terhadap istilah ini Williams memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai
orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan
orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri
(Williams, 1983: 237). Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu
mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.
Ada satu titik awal (pertama) yang menyatakan bahwa
budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kita
bisa melihatnya lakunya album pertama-nya Peterpan. Kita juga bisa meneliti
konser, pesta olahraga, festival. Kita bisa melihat kesukaan audiens terhadap
program TV melalui riset pasar. Dari pengamatan terhadap berbagai hal tersebut
akan memberikan banyak informasi bagi kita.
Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan
mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah) Budaya pop menurut definisi ini
merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak
memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya pop didefinisikkan
sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat
pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya. Sebagai contoh, kita bisa
berpegang pada kompleksitas formal sebuah budaya pop. Kita juga bisa
mempertimbangkan kebermanfaatan moralnya sebagai metode untuk menerapkan
pertimbangan nilai tersebut. Kritik budaya yang lain bisa juga menyatakan
bahawa pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam tinjauan kritis terhadap
teks atau praktiknya. Namun untuk menentukan kebermanfaatan sesuatu cara budaya
tidak semudah yang dipikirkan orang. Salah satu kesulitan besar yang dihadapi
adalah bagaimana caranya menjaga ekslusivitas budaya tinggi. Secara harfiah,
sangat sulit mengesampingkan ekslusivitas audiens suatu budaya tinggi (Storey,
2003: 11).
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieau pernah mengatakan
bahwa perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara
perbedaan kelas. ”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah kategori
ideologis yang difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah ”kelas”
dalam hal ini diposisikan dalam aarti ganda, yaitu
kategori sosial ekonomi dan tingkat kualitas tertentu).
Bourdieu menyebut satu contoh. ”konsumsi budaya”. Baginya konsumsi budaya sudah
ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi fungsi sosial
pengabsahan perbedaan sosial (Bourdieu, 1984: 5). Pembatasan ini didukung oleh
pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi
massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh
karena itu budaya tinggi adalah budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan
estetis yang lebih, sementara budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara
sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikanbnya. Apapun metode
yang digunakan oleh mereka yang ingin membedakan antara budaya tinggi dan pop,
pada dasarnya mereka sama-sama bersikukuh bahwa perbedaan di antara keduanya
memang sangatlah jelas (Storey, 2003: 12).
Lebih jauh, perbedaan itu bukanlah hanya sangat jelas,
akan lebih bersifat abadi karena sepanjang waktu. Hal ini terutama berlaku jika
perbedaan itu bergantung pada sifat-sifat yang dianggap esensial. Sebenarnya
ada beberapa kekeliruan dalam pembatasan tersebut. Misalnya William
Shakespeare, sekarang dianggap sebagai pelopor budaya tinggi, padahal pada
zamannya karyanya ini hanya dianggap tidak lebih sebuah teater pop. Begitu juga
dalam persoalan yang sama terjadi pada Charles Dickens. Film Noir bisa dianggap
sebagai penghubung antara budaya pop dan budaya tinggi. Pada awalnya film ini
dianggap sinema pop belaka, tetapi sekarang malah dipertahankan oleh para
akademisi dan pecinta film sebagai produk budaya tinggi.
Ketiga, mendefinisikan budaya pop sebagai ”budaya
massa”.Definisi tersebut sangat tergantung pada definisi sebelumnya. Mereka
menyatakan budaya pop adalah ”budaya massa” dengan tujuan menegaskan bahwa
budaya massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi massa untuk
konsumsi massa. Audiaensnya adalah sosok-sosok konsumen yang tidak memilih.
Budaya itu sendiri dianggap hanya sekedar rumusan, manipulatif (misalnya,
politik kanan/kiri yang tergantung pada siapa yang meganalisisnya). Budaya ini
dikonsumsi oleh tanpa dipikirkan panjang. John Fiske mengungkapkan ”antara
80-90% produk baru gagal walaupun diiklankan dengan kuat....beberapa film gagal
kembali modal meskipun hanya biaya promosinya sangat besar (Fiske, 1989; 31).
Simon Firth mengemukakan bahwa 80% album single mengalami kerugian. Statistik
seperti ini seharusnya mengundang pertanyaan tentang
gagasan ”konsumsi budaya” sebagai aktivitas yang pasif
dan otomatis. Mereka yang bekerja dalam perspektif budaya massa biasanya akan
memikirkan ”massa keemasan” manakala masalah budaya jauh berbeda dari apa yang
difahami sebelumnya. Hal ini biasanya muncul dala dua bentuk; (1) komunitas
yang kehilangan organisasinya, atau (2) budaya yangkehilangan daerahnya. Namun
seperti diungkapkan oleh Fiske; ”dalam masyarakat kapitalis tidak ada yang
disebut sebagai budaya daerah yang otentik untuk mengukur ”ketidakotentikan”
budaya massa, yang menyesalkan hilangnya otensitas sebagai akibat kegagalan
nostalgia romantik (Fiske, 1989: 27). ”Hal ini juga berlaku pada komunitas
organik ”yang hilang”. Mazhab Frankfurt, secara paradoks menempatkan masa
keemasan yang hilang ini tidak pada masa lampau , tetapi masa depan.
Dalam beberapa kritik budaya yang ada dalam parigma
budaya massa, budaya massa bukan hanya sebagai budaya terapan untuk kaum
miskin, tetapi juga bisa diidentifikasi sebagai budaya yang diimpor dari Amerika:”jika
kita hendak menemukan budaya dalam bentuk modernnya..., lihatlah kota-kota
besar Amerika terutama New York” (Malthy, 1989; 11). Pernyataan bahwa budaya
pop merupakan budaya massa Amerika, mempunyai sejarah yang panjang dalam
pemetaan teoretis budaya pop. Budaya massa ala Amerika ini seringkali muncul
dalam istilah ”Amerikanisasi”. Pengkajian dalam hal ini termasuk merosotnya
budaya Eropa Barat di bawah hegemonisasi budaya Amerika. Ada dua hal yang bisa
kita katakan tentang kepercayaan diri Amerika dan budaya pop. Pertama, seperti
diungkapkan oleh Andrew Ross ”budaya pop secara sosial dan kelembagaan telah
berpusat di Amerika dengan jangka waktu yang lebih lama dan lebih signifikan
dibanding di Eropa”. Kedua, pengaruh budaya Amerika di seluruh dunia sudah
tidak diragukan lagi, tetapi hakikat pengaruh itu sangat kontradiktif. Yang
benar adalah pada tahun 1950-an oleh pemuda Eropa Barat (khususnya Inggris),
budaya Amerika dimenjaadi sarana liberalisasi menentang ketentuan kaku aturan
kehidupan ala budaya Eropa Barat. Hal lain yang cukup jelas adalah bahwa
ketakutan terhadap Amerikanisasi sangat erat kaitannya dengan ketidakpercayaan
dalam munculnya berbagai bentuk budaya pop.
Terdapat versi lunak darui perspektif budaya massa ini.
Teks dan praktik budaya pop lebih dilihat dari sebagai fantasi publik. Budaya
pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Seperti diungkapkan oleh Richard
Malthy, budaya pop memberi ruang bagi
”eskapisme yang bukan hanya lari dari, atau ke tempat
tertentu, tetapi suatu pelarian dari utopia kita sendiri” (Maltby, 1989; 14).
Dalam hal ini, praktik budaya seperti hari ini Raya Idul Fitri maupun liburan
lainnya bisa dikatakan berfungsi layaknya sebuah mimpi. Mereka
mengartikulasikan dalam bentuk yang tersamar secara kolektif (tetapi dalam
relasi menekan dan tertekan, keinginan dan harapan). Inilah versi lunak dari
kritik budaya massa. Maltby mengungkapkan:
Kalau hal ini disebut kejahatan buda pop karena merampas
angan-angan kita kemudian mengemas dan menjualnya kembali kepada kita, maka ia
juga adalah prestasi, budaya pop yang telah membawa kita pada berbagai
angan-angan selain pada angan-angan yang sudah kita kenal (Maltby, 1989: 14).
Definisi keempat, menyatakan bahwa budaya pop adalah
budaya yang berasal dari ”rakyat”. Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan
yang beranggaapan bahwa budaya pop adalah sessuatu yang diterapkan pada
”rakyat” dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik ”rakyat”. Budaya pop
seperti halnya budaya daerah merupakan dari rakyat untuk rakyat. Definisi pop
dalam hal ini seringkali dikait-kaitkan dengan konsep romantisme budaya kelas
buruh yang kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama protes simbolik dalam
kapitalisme kontemporer (Benet, 1982; 27). Namun ada satu persoalan dengan
pendekatan ini yakni pertanyaan tentang siapa yang termasuk dalam kategori
”rakyat”. Persoalan lainnya adalah hakikat wacana dari mana asal-usul budaya
itu terbentuk. Tidak peduli beraapa banyak kita memakai definisi ini, fakta
membuktikan bahwa rakyat tidak secara spontan mampu menghasilkan budaya dari
dari bahan-bahan material yang mereka buat sendiri. Apapun budaya pop itu, yang
pasti bahan mentahnya disediakan selalu secara komersial. Pendekatan ini
cenderung menghindar dari kesimpulan ini. Analisis kritis tentang musik pok dan
rock sebagian hanya mengulang jenis analisis budaya pop seperti ini. Pada suatu
konferensi, ada seorang peserta yang menyatakan bahwa Levi’s tidak pernah bisa
menggunakan lagu dari Jam untuk mernjual jeans-nya. Faktanya, mereka malah
terbiasa menggunakan lagu dari Clash yang tidak bertentangan dengan
keyakinananya. Yang menjadi dasar keyakinannya adalah rasa perbedaan budaya
yang kentara. TV komersial untuk jeans Levi’s adalah budaya massa, sementara
musik Jam adalah budaya pop. Satu-satunya cara agar keduanya bisa bersatu
adalah melalui penjualan Jam. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, maka jeans
Levi’s-pun
tidak akan bisa menggunakan lagu Jam untuk menjual
produknya. Namun, hal ini sudah terjadi pada Clash suatu Band yang memiliki
kecenderungan politiknya sendiri. Tukar menukar akan menghentikannya. Pemakaian
konsep budaya hegemoni akan dibahas lebih lanjut.
Definisi kelima budaya pop berasal dari analisis politik
tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci, khususnya tentang pengembangan konsep
hegemoninya. Gramsci menggunakan istilah ”hegemoni” untuk mengacu pada cara di
mana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok
subordinasi melalui proses ”kepemimpinan” intelektual dan moral (Gramsci, 1971:
75).
Mereka yang menggunakan pendekatan ini—kadang-kadang
disebut teori hegemoni neo-Gramscian—menganggap budaya sebagai tempat
terjadinya pergulatan antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan
inkorporasi kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam penggunaan ini budaya pop
bukan merupakan budaya yang diberlakukan oleh teoretikus budaya massa ataupun
muncul secara spontan dari bawah sebagai budaya oposisi seperti yang sudah ada
dalam empat definisi budaya pop di atas. Namun sebagai suatu lingkup
tukar-menukar, keduanya akan berkelindan dalam rupa perlawanan dan penyatuan
(resistensi dan inkorporasi). Teks dan praktik budaya pop bergerak dalam apa
yang disebut Gramsci sebagai ”kesimbangan kompromis” (Gramsci, 1971: 161).
Proses ini selain bersifat historis (kadang disebut budaya pop ataupun kadang
disebut budaya lain), juga bersifat budaya sinkronis (yang bergerak di antara
resistensi dan kompromi). Misalnya liburan ke pantai, dahulu dianggap budaya
para bangsawan, dan dalam tempo 100 tahun ia berubah menjadi budaya pop. Film
Noir pada mulanya dilecehkan sebagai sinema pop, tetapi dalam waktu 30 tahun
berubah menjadi film seni. Dalam bahasa umum, mereka melihat budaya pop dalam
perspektif Neo-Gramscian cenderung melihatnya sebagai lingkup pertarungan
ideologis antara kelas dominan dan subordinasi, budaya dominan dan budaya
subordinasinya:
Budaya pop dibangun oleh kelas penguasa untuk memenangkan
hegemoni, sembari membentuk oposisi. Dengan demikian ia terdiri bukan hanya
dari pemberlakuan budaya massa yang sejalan dengan ideologi dominan ataupun
budaya oposisional yang spontan, melainkan sebagai area negosiasi antara
keduanya di mana—beberapa tipe budaya yang berbeda dari budaya pop—budaya
dominan, subordinan dan oposisional dengan segenap nilai-nilai dan unsur-unsur
ideologis ”tercampur” dalam suatu perubahan yang bersifat sekuensial (Benet,
1986: xv-xvi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar