Minggu, 03 Januari 2016

hegemoni




MODUL PERKULIAHAN



Komunikasi Antar Budaya



HEGEMONI BUDAYA DAN ALTERNATIF MEDIA SEBAGAI WAHANA BUDAYA TANDING












Fakultas
Program Studi
Tatap Muka
Kode MK
Disusun Oleh


Fakultas
Ilmu Komunikasi
Program
Studi Broadcasting
09

Christina Arsi Lestari, M.Ikom


Abstract
Kompetensi


Komunikasi Antarbudaya merupakan kajian dalam bidang broadcasting di mana mahasiswa dapat mulai memfokuskan diri kepada pentingnya memahami hegemoni budaya dalam komunikasi antarbudaya. Sehingga dengan materi ini dapat memberikan gambaran kepada mahasiswa untuk mendalami kembali komunikasi antar budaya.


Melalui modul ini, diharapkan mahasiswa telah memahami garis besar perkembangan hegemoni budaya dalam komunikasi antar budaya yang dapat diaplikasikan pada ranah komunikasi lainnya.




Hegemoni Budaya dan Perkembangannya

Secara perlahan namun pasti, umat manusia menjalin hubungan mesra satu sama lain melalui perantaraan kecanggihan teknologi komunikasi. Sementara politik dan ekonomi secara kasat mata biasanya senantiasa memertahankan berbagai ’jurang pertentangan’ di antara manusia. Inilah salah satu bentuk dari keajaiban peradaban kontemporer, dimana manusia dapat saling berbagi cerita dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi lainnya dalam suatu hitungan sepersekian detik.
Episode lainnya dari drama perkembangan peradaban modern saat ini adalah suatu kisah di mana proses penyebaran informasi yang melintasi berbagai tapal batas wilayah (negara), konferensi jarak jauh (teleconference), cetak jarak jauh, dan sebagainya telah mampu menciptakan ikatan-ikatan baru secara sosiologis ataupun psikologis sebagai bagian dari warga masyarakat ”Desa Dunia’ (Global Village) seperti yang disitir oleh McLuhan seorang ahli sejarah komunikasi sosial dari Canada.
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi bukanlah satu-satunya ’agent of social change’ dari fenomena kontemporer globalisasi yang terus berkembang hingga saat ini. Sebab perkembangan sistem ekonomi, khususnya perdagangan dunia setidaknya merupakan kontributor lain juga yang harus dipertimbangkan.
Globalisasi yang tengah terjadi saat ini telah membawa beberapa perubahan mendasar bagi sejarah kehidupan manusia karena telah memporak-porandakan konsep jarak, ruang dan waktu. Globalisasi dalam dimensi sebagai anugerah dapat ditandai oleh ketersediaan barang dan jasa, lengkap dengan keragaman variasi, model, kualitas, ataupun harga secara memadai serta mudah diakses oleh para konsumen.
Demikian pula dengan berbagai peristiwa apapun dari berbagai pelosok dunia akan dapat secara mudah diketahui, bahkan dengan sesegera mungkin sehingga banyak pihak dapat dengan cepat pula memberikan respon atas berbagai peristiwa tersebut. Akan tetapi, globalisasi secara sekaligus juga dapat dilihat dalam dimensi sebagai musibah, karena realitas yang hadir dalam format seperti itu tidak akan pernah bersifat ”netral” dan ”bebas kepentingan”, terutama dalam penguasaan aset sumber daya material, baik modal, energi, teknologi, dan informasi.
Atas dasar kenyataan itu maka terlalu naif bila tetap beranggapan bahwa dalam globalisasi yang sedang terjadi saat ini akan dicapai suatu perolehan, baik kesempatan maupun hasil yang adil bagi semua pihak. Secara lebih tegas adalah adanya pihak yang lebih diuntungkan dan dirugikan dalam ’setting’ situasi dan kondisi seperti ini. Dan secara mudah dapat diterka bahwa negara-negara maju memiliki peluang yang lebih besar dari pada negara-negara berkembang yang terpaksa harus menerima nasib sebagai pihak yang akan banyak dirugikan.
Fokus perhatian pada masalah keterkaitan antara suatu ’bentuk teknologi’ dengan ’sistem kebudayaan’ menjadi kian relevan manakala muncul suatu kenyataan bahwa kesuksesan dari negara-negara maju sebagai produsen utama perangkat teknologi tersebut telah menciptakan, merekayasa, dan mensosialisasikan ’simbol-simbol’ baru tentang kemajuan suatu peradaban dan pada akhirnya mendorong dan memacu negara-negara berkembang ikut ’terseret’ ke dalam setting modernisasi tersebut. Hanya saja perbedaannya, posisi negara-negara berkembang bukan turut berperan sebagai produsen suatu bentuk teknologi, tetapi lebih sekedar menjadi konsumen berbagai produk teknologi yang dihasilkan negara-negara maju melalui proyek ’transfer teknologi’. Kegiatan ini selanjutnya menjadi populer bagi negara berkembang karena dipandang dapat menjadi sumber ’kekuatan baru’ di dalam melakukan pembangunan (modernisasi), khususnya atas kemampuannya menciptakan efisiensi biaya operasional serta kemampuan untuk meningkatkan produktivitas.
Dengan demikian globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, baik di bidang ekonomi, politik, social dan budaya. Globalisasi sejatinya adalah anak kandung dari kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya dilakukan dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain dan demi memasarkan produk-produk mereka dan mencari keuntungan demi mengakumulasikan modal. Bila pada masa kolonialisme, kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar namun masa pascakolonial kapitalisme “membonceng” kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Era globalisasi mendorong adanya pasar bebas yang membuat modal begitu mudah keluar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat suatu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Selain itu, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas negara menjadi samar. Dan pada akhirnya menjadi alasan kuat untuk memberikan perhatian pada masalah identitas budaya nasional. Karena dengan adanya adopsi proses suatu bentuk teknologi komunikasi dan informasi tersebut, memberikan berbagai bentuk implikasi tertentu dalam pola hubungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, baik di dalam masyarakat itu sendiri (sebagai akibat masuknya rasionalitas teknologis modern ke dalam sistem berpikir masyarakat yang tradisional) maupun pada saat berinteraksi antarnegara (akibat masuknya negara ke dalam perangkap ketergantungan terhadap negara lain; khususnya ketergantungan teknologis).
Berkaitan dengan masalah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta fenomena transfer teknologi antarnegara maka dapat diketahui bahwa menurut Dizard (1989) negara Amerika Serikat merupakan produsen utama perangkat teknologi komunikasi seperti komputer, satelit komunikasi, industri film, jaringan telepon, serta industri siaran (broadcasting) baik televisi maupun radio, bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bahkan menurut hasil penelitian sebelumnya dari Collins (1988), dari semua jenis produk yang telah ’mendunia’, dimana Amerika Serikat memimpin dalam kapasitasnya sebagai produsen dan pengekspor berbagai program siaran televisi selama lebih dari 30 tahun terakhir.
Lebih lanjut Parker (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya kenyataan tersebut pada akhirnya mengundang kritik dari Schiller (1989) yang menyatakan bahwa kencenderungan adanya dominasi televisi Amerika Serikat tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk ’imperialisme budaya’, dimana pada kelanjutannya telah menyebabkan ’gegar budaya’ ataupun ’kehebohan budaya’ bagi negara-negara lain yang menerimanya (recipient countries). Bahkan kondisi ini seperti ini telah diisyaratkan oleh Schiller jauh sebelumnya bahwa jika ’imperialisme’ dipahami sebagai suatu upaya untuk merekayasa pelanggengan kekuasaan suatu negara, yang dilakukan dengan cara memperluas kekuatan kontrol dan dominasi, maka tindakan Amerika Serikat mengekspor produk industri televisinya ke negara-negara lain dapat dinilai sebagai ’global American electronic invasion’.
Imperialisme dapat dilihat dari aktivitas transfer teknologi komunikasi dalam hal ini adalah media massa yang menjadi pengantar dan perantara masuknya nilai-nilai modern (Barat) tersebut, baik yang konkret dalam bentuk pesan-pesan budaya maupun yang masih tersembunyi di balik bentuk fisik teknologi sehingga menghancurkan nilai-nilai tradisional masyarakat yang mengadopsi teknologi komunikasi tersebut.
Saat ini, dalam hal kebudayaan dapat dilihat bagaimana kebudayaan Amerika dan Eropa sebagai representasi kekuatan kapitalisme dunia yang mencitrakan dirinya sebagai kebudayaan yang adiluhung. Masyarakat dunia ketiga yakni negara-negara yang berkembang, secara tidak sadar dipaksa mengintegrasikan dirinya ke dalam bagian dari kebudayaan tersebut.
Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi baru dalam bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi dengan mediasi computer melalui jaringan on line internet di dunia maya, antara orang banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari berbagai belahan dunia tanpa batas (Mcquail, 2002 hal. 113). Melalui CMC ini peran pengakses internet menjadi akrab dengan situs global seperti Yahoo, Hotmail, dll. Dengan demikian informasi yang begitu mudah menyebar, sekaligus mendorong terjadinya fenomena globalisasi budaya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia malah sering menjadi objek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang terjadi mengalirkan begitu banyak informasi dari Negara-negara maju khususnya Barat kenegaraan berkembang. Atau terjadinya unevent globalization, globalisasi yang timpang (Lister et all; 2003:200).
Konsep Free Flow of Information antar negara di dunia yang pernah diperjuangkan pada massa 1980-an menjadi wacana pada tataran konseptual (McBride, 1982). Praktek arus informasi di media-media internasional masih didominasi negara maju, terutama Amerika Serikat. Negara dunia ketiga lebih banyak menjadi penerima, tanpa mampu mengirimkan secara seimbang informasi mengenai negaranya, yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme budaya negara barat, khususnya AS. Melalui penyebaran informasi tadi telah menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain di dunia. Dari informasi pemberitaan, film, lagu, hingga gaya hidup orang AS. Menjadi trend di berbagai negara termasuk Indonesia.
McDonald adalah contoh dari simbol yang sangat tepat dari internasionalisasi aspek budaya AS dalam praktek bisnis yang merabah keseluruh dunia. Keberadaan McDonald hingga Moskow dan kota-kota Eropa Timur yang lain, merupakan simbol yang amat tampak dari adanya pergeseran ekonomi sosialisme menjadi ekonomi pasar (Ritzer, 2000). Keberhasilan McDonald membawa resep standard dari pusat di AS melalui strategi penyesuaian dengan selera lokal, telah mampu menancapkan kuku investasinya, baik di negara yang penduduknya mayoritas Muslim, Kristen, Hindu dan Budha. “They know local tastes a beefburger is unwelcome in Hindu India, a baconburger can not be sold in Muslim countries demands alteration to the recipes”.
Pusat industri media dunia sebagai penyebaran budaya global, benar-benar semakin menjadi alat kapitalisme. Media massa sebagai produsen budaya, dewasa ini lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari keuntungan. Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau kemana-mana, melintas batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi hanya pada beberapa orang aja.
Konsentrasi media global tentu saja akan mengurangi bobot peran media dalam proses demokrasi, maupun representasi keragaman publik dunia, sebagaimana dibahas oleh Robert W Mc. Chesney. Mereka melihat semakin kuatnya media massa dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis, dan kecenderungan berlaku di dunia, termasuk Indonesia. Pada dasarnya karakteristik pengusaha pemilik holdings media, atau sering dikenal dengan istilah the mogul, dimana pun mempunyai kecenderungan yang sama. Yaitu senantiasa berupaya memperbesar jaringan usahanya, kemudian mengakumulasikan keuntungan dan model itu untuk kepentingan mereka, yang pada akhirnya sering bertentangan dengan ketentuan keadilan dan demokrasi.
Gramsci, seorang teoritikus politik dari Italia memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam studi social dan kebudayaan. Ia memberikan penjelasan atas fenomena bertahannya kapitalisme hingga hari ini. Gramsci menemukan jawabannya ketika ia menyaksikan di masa hidupnya bahwa masyarakat yang berada di bawah tekanan rejim fasis Mussolini, tidak melakukan perlawanan terhadap rejim fasis yang berkuasa. Perlawanan seharusnya terjadi di Italia, namun kenyataan berkata lain, yang terjadi adalah rakyat menerima dan rela hidup dengan penderitaan dan mendukung rejim yang berkuasa yaitu rejim Mussolini. Gramsci terus mencari tahu dan akhirnya menemukan jawaban atas fenomena ini yaitu : hegemoni.
Hegemoni terjadi ketika masyarakat yang dikuasai oleh kelas yang dominant bersepakat dengan ideology, gaya hidup dan cara berpikir dari kelas dominant. Sehingga kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas yang berkuasa.
Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Pada saat ini hegemoni kapitalisme telah begitu mencengkram. Kecenderungan pesan mengalir dari arus budaya utama (mainstream) yakni budaya yang dibangun dari wilayah pusat (centrum) yang bertempat di belahan bumi utara, yaitu budaya barat (Amerika dan Eropa) ke masyarakat yang lemah dalam pengusaan tekologi, informasi, sumber daya manusia, dan sumber keuangan, yaitu bumi selatan (seperti Asia, Afrika, Amerika Latin) yang disebut sebagai wilayah pinggiran (pheriperique) sering dianggap sebagai proses dominasi budaya (cultural domination). Kekuatan dominasi budaya yang disebarkan melalui media massa dan pengaruh kuat promosi media massa, mampu menciptakan kondisi masyarakat yang seragam (cultural homogenization). Budaya utama tersebut dihembuskan oleh kekuatan modal dan teknologi, kemampuan sumber daya manusia dan jaringan telekomunikasi dan tanpa terasa telah diterima secara sukarela sebagai sebuah kebutuhan.
Perubahan dan dinamika social politik yang berkembang di suatu negara sangat mungkin disebabkan oleh karena pengaruh wacana dan isu-isu internasional yang sengaja dihembuskan oleh beberapa negara raksasa untuk mencapai tujuan akhir, yaitu hegemoni dan dominasi. Misalnya, isu lingkungan hidup, HAM, krisis ekonomi, gender, terorisme dan good governance semua tertuju pada masalah kekuasaan. Dampak yang semakin dirasakan oleh masyarakat local adalah terjadinya pergeseran nilai dan norma social budaya yang berubah sangat cepat.
Masyarakat dunia ketiga umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh negara industri maju. Terdapat proses internalisasi nilai yang dilakukan negara maju ke negara dunia ketiga melalui “aparat” kebudayaan yang juga merupakan “agent of change” seperti film, televise, internet, musik dan lain sebagainya yang telah bekerja dengan begitu sempurna.
Media massa dalam hal ini merupakan media yang sangat mendukung berkembangnya hegemoni budaya. Kemampuan teknologi dan kemapanan media jurnalistik dan komunikasi berperan dalam menyebarkan budaya-budaya popular sehingga menjadi budaya global. Kita melihat bagaimana film dan penyiaran di dunia ketiga terutama Indonesia hampir seluruhnya berkiblat pada kebudayaan barat.
Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai suatu yang netral termasuk media penyiaran seperti televise dan radio. Terdapat kepentingan ideologis di dalamnya yang bermain dari sekelompok kepentingan yang berkaitan dengan ekonomi, politik. Keberadaan media pada akhirnya akan didominasi oleh sekelompok pemodal yang ingin menguasai dunia melalui uangnya. Fenomena mengglobalnya media massa harus dilihat sebagai upaya kaum kapitalis dunia dalam menancapkan pengaruhnya ke seluruh bagian dunia.
Media massa khususnya televise pada gilirannya akan diposisikan menjadi agen kebudayaan dari kelas dominant yang ada dalam kehidupan, kekuasaan pemodal. Realitas yang disajikan medium televisi bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi realitas yang telah melalui proses “seleksi”. Seleksi dilakukan oleh sekelompok orang – jurnalis- , pekerja di rumah produksi, produser, sutradara, hingga pemilik yang yang memiliki system nilai dan ideology tertentu. Hal inilah yang menyebabkan televisi menjadi tidak bebas nilai. Dapat kita lihat sekarang ini dimana yang berkuasa adalah industri maju, maka televise akan menjadi agen system nilai, ideology, dan aparat hegemoni kesadaran. Hampir seluruh acara yang ditayangkan televise kita merepresentasikan kepentingan budaya yang ada di dunia maju. Bahkan film-film yang ditayangkan adalah film produksi sineas Amerika dan Eropa; seperti Bioskop Trans TV, Layar Emas Box Office RCTI, dan Blockbuster ANTV. Tentunya system nilai dan ideology yang digambarkan sangat bias Amerika dan Eropa. Selain itu, karena televisi dikuasai pemodal maka siaran yang akan ditayangkan akan memperteguh dan mengukuhkan dominasi kaum pemodal. Kebudayaan yang disajikan ke khalayak luas pun kebudayaan yang tidak akan mengganggu eksistensi pemodal. Dengan semakin mengglobalnya televise, maka tidak aneh bila kebudayaan yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di Negara maju. Bila terjadi terus menerus maka Amerika dan Eropa akan dianggap sebagai impian jutaan manusia.
Kecenderungan struktur industri media di dunia, khususnya di AS dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan William Hoynes (2001; 73) mengalami empat (4) macam perkembangan, yaitu:
1. Growth (Pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antara perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merabah kemana-mana.
2. Integration (Integrasi), raksasa media baru terintegrasi secara horisontal dengan bergerak ke bebagai bentuk media, seperti film, penerbitan, radio, dll. Integrasi perusahaan media bisa juga terbentuk secara vertikal dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi, misalnya memiliki perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop, DVD dan jaringan stasiun televisi.
3. Globalization, untuk meningkatkan derajat keagamaan, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan mendunia.
4. Concentration of Ownership, kepemimpinan holdings media yang menjadi mainstream dunia semakin terkonstrasi kepemilikannya.
Berkah desa global (Marshall Mc Luhan) telah menciptakan apa yang disebut dengan gaya hidup global (the global life style). Gaya hidup global yang di bawa oleh media massa ditandai dengan membanjirnya produk impor atau dari multinational corporation yang secara massal mengembangkan industrinya hampir di seluruh dunia, seperti pakaian, minuman, aksesoris, rumah tangga, parfum sampai pada jenis hiburan, musik, film, sinetron, lagu-lagu klasik dan popular, dalam bentuk vcd yang memungkinkan orang dapat memutar sendiri di rumah-rumah. Produk-produk tersebut telah mendorong warga desa global sebagai konsumen aktif, lebih besar sebagai pengguna produk-produk tersebut daripada harus menjadi produktor. Inilah system kapitalisme sejati yang membawa dunia dalam impian global. Akhirnya dunia menjadi lebih kosmopolit, yang mana satu orang dengan orang lain tidak saja saling memengaruhi tetapi juga saling mengeksploitasi dan mendominasi.
Hegemoni budaya yang berkembang di Indonesia sebenarnya sudah sangat meresahkan, terutama mengenai pola hidup remaja Indonesia saat ini, dimana ketika hegemoni budaya barat diberi label modern, maka di sanalah jutaan anak muda negeri mengikut. Terdapat istilah generasi MTV, generasi yang berpikir, berperilaku, dan berbusana meniru system budaya yang dipraktikan budaya barat. Bila remaja saat ini tidak menonton MTV maka kita akan dianggap norak, kampungan, dan tidak modern. Satu pemaknaan yang salah kaprah.
“Tren” pastinya ada karena sebuah kebutuhan, Tapi sesungguhnya para korporat sadar bahwa kebutuhan itu dapat diciptakan. Komunikasi visual pun tercipta sebagai ujung tombak kapitalis untuk menciptakan rasa “aku harus beli”. Bagi Millen Kundera ini di sebut Imalogy, sebuah pencitraan; cantik itu harus berkulit putih (pucat) seperti perempuan barat umumnya, rambut bagus harus brunette, dan mata yang menggoda haruslah berwarna biru atau hijau. Remaja Indonesia pun berlomba untuk mencitrakan dirinya sendiri dengan mengkopi perempuan-perempuan barat. Selain itu, di bidang ekonomi juga terjadi hegemoni di mana banyak bertebaran restoran-restoran ala barat seperti McDonald, Kentucky Fried Chiken, Wendys, dan lain-lain. Masyarakat sekarang ini bila tidak makan di McD atau minum Coca Cola maka kita akan menjadi orang yang kampungan. Gejala ini merupakan suatu gejala poskolonialisme, yaitu suatu kondisi masyarakat yang mabuk akan nilai-nilai.
Hal ini akan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari dan menimbulkan factor-faktor negative dalam masyarakat, terutama munculnya diorientasi dan dislokasi. Disorientasi adalah proses kebingungan masyarakat karena kehilangan orientasi dalam kehidupan yang makin kompleks. Masyarakat kesulitan untuk mengambil keputusan atau menentukan pilihan dari tawaran yang makin banyak dan beragam, dari barang, jenis pekerjaan sampai gaya hidup. Sedangkan dislokasi adalah kondisi dimana setiap orang tidak tahu berada pada posisi dimana karena kompleksnya mikrokultur yang lahir karena gaya hidup global yang cepat menular. Dalam kondisi seperti itu, makin banyak warga masyarakat global yang semakin terpinggirkan oleh gegap gempita kehidupan yang kompetitif, teralienasinya individu dari masyarakatnya, terjadinya krisis identitas di segala lapisan.
Dapat dilihat saat ini bahwa hegemoni budaya barat telah akrab dengan masyarakat Indonesia dan dengan sadar telah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti cara berpakaian, cara berpikir, selera musik dan lainnya. Dari segi penggunaan bahasa juga, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang harus dikuasai oleh setiap orang. Bahasa Inggris merupakan syarat utama dalam lowongan pekerjaan.
Sekarang ini tengah terjadi ’perang’ besar-besaran, semboyan besar-besaran untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya. Apa yang dikonsumsi masyarakat bukan lagi sesuatu berdasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesautu yang disebut dalam istilah teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra atau image menjadi sangat penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi dimana informasi bukan lagi sekedar sebagai alat atau modal untuk berdagang melainkan menjadi produk itu sendiri. Maraknya industri yang di sebut production house atau rumah produksi misalnya, menjadi indikasi untuk hal ini. Dia tidak memproduksi barang melainkan informasi tentang barang, citra tentang barang.
Hegemoni budaya barat dapat mengancam keutuhan budaya bangsa sendiri, karena itu untuk membebaskan masyarakat dari budaya barat, Gramsci mengatakan bahwa peran pembebasan ini kepada kaum intelektual yang harus menyadarkan masyarakat bahwa mereka tengah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Menurut Gramsci, terdapat dua macam kaum intelektual, yaitu :
1. Kaum Intelek Organik yaitu kaum intelektual yang menggerakkan massa untuk bebas dari hegemoni budaya barat dan menyadarkan masyarakat bawah bahwa mereka telah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Dalam kondisi seperti ini kaum intelektual harus membangun blok solidaritas (civil society) guna melakukan perlawanan budaya dan melakukan delegitimasi terhadap system kebudayaan dari kelas dominant.
2. Kaum intelektual tradisional yaitu kaum yang tidak bergerak untuk membebaskan dari hegemoni, tidak melakukan penyadaran dan menjadi agen kepentingan kelas berkuasa. llmu pengetahuan yang dimiliki kaum intelektual jenis melegitimasi kekuasaan yang menindas. Biasanya menempati berbagai posisi alamiah, filosofis dan religius. Mereka terdapat di berbagai lembaga seperti sekolah, universitas, lembaga agama, media dan lain sebagainya. Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, kaum intelektual menganggap diri mereka independent karena bukan dari bagian politik nyata di masyarakat. Tapi menurut Gramsci sesungguhnya mereka tidaklah independent karena mereka justru memproduksi, memertahankan, menyebarkan ideology-ideologi yang membentuk hegemoni dan kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam akal sehat yang pada akhirnya akan menguntungkan pihak penguasa.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kebudayaan bukanlah ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan kepentingan ideology dan kelas dalam masyarakat baik nasional maupun internasional. Dalam konteks pertarungan kaum intelektual dituntut untuk berpihak menjadi agen kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat hegemoni dan dominasi. Peran kaum intelektual dalam kritik menjadi sangat penting, membiarkan budaya berdiri tanpa kritik akan semakin menjauhkan manusia dari keadaan yang humanis.
Bila kaum intelektual organic ingin menjadi pembebas maka mereka harus memperkuat civil society sebagaimana yang disarankan Gramsci. Kaum intelektual organic harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk belajar bersama-sama dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistematik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap budaya dominant.
Menciptakan Budaya tanding Terhadap Hegemoni Budaya
Dominasi budaya yang dilakukan melalui media massa oleh masyarakat Barat pada akhirnya mulai disadari sebagai bentuk imperialisme budaya baru. Bentuk imperialisme modern ini tidak lagi dilakukan dengan pesawat terbang, meriam, peluru dan pasukan, tetapi dilakukan oleh media massa.
Ideologi yang disebarluaskan, tidak dipaksakan oleh penguasa, tetapi merupakan pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam mengintepretasikan pengalaman. Proses ini berlangsung secara tersembunyi, tetapi berlangsung terus menerus.
Kekuatan-kekuatan dominant yang dimiliki negara-negara maju (pusat) tersebut sebagai pihak penguasa teknologi, juga digunakan untuk mendominasi kaidah-kaidah moral dan intelektual yang berlaku di masyarakat negara-negara berkembang (pinggiran) sebagai pihak pengadopsi teknolgi. Akibatnya dalam tingkat tertentu semua ruang public dan semua aspek kehidupan politik, social dan budaya yang dimiliki masyarakat tersebut menjadi masuk ke dalam perangkap ‘hegemoni’.
Melihat kecenderungan demikian, maka hendaknya, dapat dilakukan diantaranya dengan reformasi di bidang media massa seperti melakukan deregulasi terhadap undang-undang pers, sesuai dengan kenyataan social budaya Indonesia, terutama dalam memperkokoh semangat kebangsaan. Selain itu, kebijakan negara terhadap media massa bukan untuk mengendalikan arus informasi dari rakyat untuk rakyat tetapi bagaimana memberikan porsi yang cukup terhadap produk mental local.
Saat ini, masyarakat Indonesia, pemerintah, seniman, mulai merekonstruksi atas “KeIndonesiaan” melalui kebudayaan nasional, kesenian daerah, promosi budaya sebagai wahana budaya tanding terhadap hegemoni budaya tersebut. Sebenarnya, langkah tersebut telah dimulai pada masa orde baru yang secara resmi mengupayakan aspek visual dan dekoratif kebudayaan asli Indonesia, mulai dari restorasi monument-monumen purbakala, reproduksi gaya arsitektur tradisional hingga mengajarkan konteks “keindonesiaan” kesenian-kesenian daerah seperti seni tari serta penyebarluasan kerajinan tangan dan motif-motif tradisional seperti kain batik, songket dan lain-lain dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu diterapkan nilai-nilai dan sikap yang digunakan sebagai karakteristik figure kelompok suku bangsa sebagai indikasi kepribadian Indonesia.
Erosi budaya local yang terus menerus mengikis budaya local, kian dipercaya akan mampu menghancurkan local genie secara perlahan-lahan dan menggantikan dengan kebudayaan baru yang tercerabut dari akar budaya genius lokalnya. Dominasi budaya dan hegemoni budaya dapat dikurangi setidaknya dapat diletakkan pada porsinya yang selaras dengan budaya setempat, ketika ada kesadaran dan upaya untuk mengatasi keterasingan masyarakat dan keterasingan cultural dengan cara yang kritis.
Dalam kondisi seperti ini pula, kajian komunikasi antarbudaya menawarkan kesadaran pentingnya keterbukaan setiap bangsa untuk mengerti, memahami dan bersikap kritis guna mengantisipasi efek budaya mainstream terhadap budaya sendiri. Sikap arif dan bijaksana, yakni perlunya mengakrabi secara kritis akibat dampak yang ditimbulkannya dan bukan untuk menghindari secara membabi buta karena budaya asing.
Globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti dunia runtuh, dan tidak pula semua orang menjadi pesimis. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Dawkins yang menunjukkan konsep ketahanan sosial masyarakat dari perubahan. Dawkins mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan sosial. Setiap kelompok memiliki meme, sebagaimana individu memiliki gen yang akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok sosial akan memertahankan karakteristik nilai-nilai sosial budayanya kendati kelompok itu diterpa serbuan guncangan budaya lain. Meme menyebar melalui komunikasi dan sosialisasi. Ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang, yang memengaruhi kejadian di lingkungannya sedemikian rupa sehingga makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998), contohnya budaya Jepang.
Aksi postmodernisme juga memberikan angin segar bagi budaya lokal dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan dengan berbagai hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali kepada hal-hal bersifat etnik, tradisional, dikenal dengan retradisionalisasi.

Hidup Berkepribadian dengan Kebudayaan Sendiri

            Manusia dengan kebudayaan itu saling menciptakan, manusia menciptakan kebudayaan melalui cipta, karsa dan karya. Selanjutnya kebudayaan yang sudah diciptakan itu membentuk manusia yang hidup di dalamnya sesuai dengan pola yang dibentuk oleh kebudayaan itu. Manusia hanya bisa hidup dalam kebudayaan, karena kebudayaan merupakan kesadaran bersama, yang membentuk pola pikir dan kesadaran yang terpola dan teratur. Kebudayaan dalam taraf ini dikenal dengan kosmologi, sebagai sebuah cara hidup dan cara pandang yang tertib, teratur dan ajek.
Dalam sistem modern dengan sarana komunikasi yang hebat dan canggih, sebuah kebudayaan yang besar bisa memaksakan keberadaannya pada bangsa lain, sehingga memaksa orang lain hidup di luar kebudayaannya sendiri. Ketercerabutan budaya mewarnai kehidupan masyarakat modern, yang terjadi karena proses migrasi, kemudian masuk ke wilayah budaya lain. Tetapi yang repot ketercerabutan itu adalah akibat proses hegemoni.
Hegemoni kebudayaan itu berjalan melalui media massa, kesenian, pendidikan dan penerbitan berbagai buku. Dengan mengadopsi budaya luar yang hegemonim itu suatu bangsa akan kehilangan persentuhan bahkan rujukan dengan budayanya sendiri. Padahal berpijak pada tradisi sendiri merupakan pangkal kemajuan, bukan sebaiknya, kemajuan ditempuh dengan meninggalkan tradisi sendiri. Karena dengan cara itu pembaruan tidak mengakar, sehingga tidak akan bisa tumbuh subur dan kuat.
Kita bisa saksikan sebuah bangsa besar seperti Turki dengan kekhalifahan Dinasti Usmani yang sangat besar itu, tiba-tiba diganti oleh Kemal Attaturk dengan tradisi Barat secara total, sejak dari sistem pemerintahan, sistem pendidikan dan perekonomiannya. Hingga saat ini Turki tidak menjadi negara besar, bahkan semakin kecil, mau masuk ke Uni Eropa saja gagal baik karena diskriminasi maupun karena kemajuan negara itu yang tidak berarti walaupun sudah membaratkan diri mereka secara total. Justeru karena pembaratannya, dengan imitasinya itu Turki kehilangan kepribadiannya. Dengan tanpa kepribadian tidak mungkin suatu bangsa bisa berkembang dan disegani orang.
Sebaliknya bangsa Jepang, ketika ditaklukkan Amerika hanya satu permintaan Kaisar yaitu bangsa Jepang ingin dibolehkan hidup dengan tradisi bangsa Jepang: Sistem politik Jepang, sistem pendidikan Jepang, sistem kalender Jepang dan penggunaan huruf Jepang. Berbeda dengan Turki yang terpuruk, Jepang dengan kejepangannya mampu menampilkan diri sebagai negara yang maju bisa berdiri dan duduk sejajar dengan peradaban Barat, tetapi tidak meninggalkan tradisi, justeru Jepang maju dengan modal tradisi.
Sementara di Indonesia sejak awal melakukan modernisasi terutama sejak Orde Baru langkah yang dilakukan adalah menghancurkan tradisi, karena tradisi dianggap sebagai penghalang kemajuan. Maka sekarang ini sedikit sekali tradisi yang tersisa. Apalagi dengan gencarnya siaran media, hampir tidak lagi mengapresiasi tradisi sendiri, semuanya menyuguhkan budaya asing yang dianggap lebih modern. Setiap hari kebudayaan sendiri semakin tersisih, sementara budaya asing semakin mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian itu bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan direkayasa dengan harapan bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain kalau bangsa ini telah mengambil budaya lain. Maka yang terjadi adalah peniruan atau imitasi dan penjiplakan, sementara tidak mungkin orang bisa besar dengan menjiplak, pasti kualitasnya di bawah budaya utama. Maka akhirnya daya saing yang diharapkan tidak pernah muncul, sementara kebudayaan sendiri terlanjur sudah dikesampingkan, tidak dihormati oleh bangsa sendiri.
Baru ketika bangsa lain menghormati kebudayaan kita, kita baru tersadar untuk ikut mengapresiasi kebudayaan sendiri, yang sudah kita tinggalkan, akhirnya bangsa asinglah yang menguasai kebudayaan kita. Sementara imperialisme kebudayaan ini adalah bagian penting dari imperialisme politik dan ekonomi, maka imperialisme kebudayaan dijalankan dalam rangka memperlancar imperialisme politik dan ekonomi itu.
Dengan imperialisme kebudayaan itu kita tercerabut dari kebudayaan sendiri, akhirnya kita sebagai gelandangan budaya dan mengalami kemiskinan budaya. Sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki imajinasi, bangsa yang kehilangan mimpi sehingga tidak bisa menjadi bangsa yang cerdas dan kreatif. Memang hidup dengan basis kebudayaan sendiri yang sudah terlanjur diremehkan, dihinakan agak repot, kecuali bagi orang yang penuh percaya diri. Padahal hidup dengan kebudayaan sendiri itulah kunci kemajuan, dengan budaya sendiri seseorang atau suatu bangsa akan memiliki kepribadian. Dengan berkepribadian itulah bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.

Bangsa kita yang terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, memiliki berbagai sumber kebudayaan yang bisa dikembangkan. Baik dikembangkan menjadi sistem pemerintahan, kenegaraan, sistem pendidikan, sistem pertahanan dan sistem ekonomi. Bangsa ini pernah menjadi bangsa besar sebelum dihancurkan oleh penjajah, justeru karena dengan sistem pemerintahan sendiri, sistem pendidikan sendiri. Dalam proses ini selain dibutuhkan keberanian mengangkat budaya sendiri, juga dibutuhkan kemampuan untuk menafsirkan kembali kebudayaan sendiri, setelah itu dibutuhkan keberanian moral dan keberanian politik untuk melakukan perubahan kebudayaan.
Kebudayaan bagi bangsa yang memiliki kepribadian, bukan sekadar konsep akademik, tetapi sudah merupakan strategi perubahan. Dengan cara pada suatu kebudayaan ditransformasikan dan menuju arah mana kebudayaan itu ditransformasikan. Politik kebudayaan mempersyaratkan adanya aktor kebudayaan yang memiliki kepribadian, hanya dengan cara itu mereka memiliki keberanian moral untuk melakukan pendobrakan dari kejenuhan dan kebuntuan, untuk menerobos berbagai kemungkinan, untuk menciptakan peluang dan harapan.



















Daftar Pustaka

Gillin, Todd. 1979. Prime Time Ideology: The Hegemonic Process In Television, in Newcomb, Horace, ed. 1994, Television: The Critical View. Fifth Edition. New York: Oxfod University Press
Hall. T. Edward. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. New York: Anchor Books. 1984.
Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Lifestyle Ectasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Liliweri, Alo. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
_________. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar. 2004

_________. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. LKiS. Jakarta. 2005
_________. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS. 2007
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat [Ed]. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Remaja Rosdakarya: Bandung.
_____________. 2004. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Remaja Rosdakarya: Bandung
_____________. 2009. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya: Bandung
Rumondor, Alex H., dkk. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Universitas Terbuka. 2005.
Samovar, larry A., Porter, Richard E. Communication Between Culture. Fifth edition.
Thomson Wadsworth Canada. 2004
Simon, Roger. 1991. Gramsci’s Political Thought; An Introduction. London: Lawrence and Wishart
Varner, Iris. Beamer, Linda. Intercultural Communication In The Global Workplace. Third edition. Mc Graw Hill Singapore. 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar