|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
Komunikasi Antar Budaya
|
|
|
|
HEGEMONI BUDAYA DAN ALTERNATIF MEDIA
SEBAGAI WAHANA BUDAYA TANDING
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program Studi
|
Tatap Muka
|
Kode MK
|
Disusun Oleh
|
|
|
Fakultas
Ilmu
Komunikasi
|
Program
Studi
Broadcasting
|
09
|
|
Christina
Arsi Lestari, M.Ikom
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
|
|
Komunikasi Antarbudaya merupakan kajian
dalam bidang broadcasting di mana mahasiswa dapat mulai memfokuskan diri
kepada pentingnya memahami hegemoni budaya dalam komunikasi antarbudaya.
Sehingga dengan materi ini dapat memberikan gambaran kepada mahasiswa untuk mendalami
kembali komunikasi antar budaya.
|
Melalui
modul ini, diharapkan mahasiswa telah memahami garis besar perkembangan hegemoni
budaya dalam komunikasi antar budaya yang dapat diaplikasikan pada ranah
komunikasi lainnya.
|
Hegemoni Budaya dan Perkembangannya
Secara perlahan namun pasti, umat manusia menjalin
hubungan mesra satu sama lain melalui perantaraan kecanggihan teknologi
komunikasi. Sementara politik dan ekonomi secara kasat mata biasanya senantiasa
memertahankan berbagai ’jurang pertentangan’ di antara manusia. Inilah salah
satu bentuk dari keajaiban peradaban kontemporer, dimana manusia dapat saling
berbagi cerita dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi lainnya dalam suatu
hitungan sepersekian detik.
Episode lainnya dari drama perkembangan peradaban modern
saat ini adalah suatu kisah di mana proses penyebaran informasi yang melintasi
berbagai tapal batas wilayah (negara), konferensi jarak jauh (teleconference),
cetak jarak jauh, dan sebagainya telah mampu menciptakan ikatan-ikatan baru
secara sosiologis ataupun psikologis sebagai bagian dari warga masyarakat ”Desa
Dunia’ (Global Village) seperti yang disitir oleh McLuhan seorang ahli sejarah
komunikasi sosial dari Canada.
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi bukanlah
satu-satunya ’agent of social change’ dari fenomena kontemporer globalisasi
yang terus berkembang hingga saat ini. Sebab perkembangan sistem ekonomi,
khususnya perdagangan dunia setidaknya merupakan kontributor lain juga yang
harus dipertimbangkan.
Globalisasi yang tengah terjadi saat ini telah membawa
beberapa perubahan mendasar bagi sejarah kehidupan manusia karena telah
memporak-porandakan konsep jarak, ruang dan waktu. Globalisasi dalam dimensi
sebagai anugerah dapat ditandai oleh ketersediaan barang dan jasa, lengkap
dengan keragaman variasi, model, kualitas, ataupun harga secara memadai serta
mudah diakses oleh para konsumen.
Demikian pula dengan berbagai peristiwa apapun dari
berbagai pelosok dunia akan dapat secara mudah diketahui, bahkan dengan
sesegera mungkin sehingga banyak pihak dapat dengan cepat pula memberikan
respon atas berbagai peristiwa tersebut. Akan tetapi, globalisasi secara
sekaligus juga dapat dilihat dalam dimensi sebagai musibah, karena realitas
yang hadir dalam format seperti itu tidak akan pernah bersifat ”netral” dan
”bebas kepentingan”, terutama dalam penguasaan aset sumber daya material, baik
modal, energi, teknologi, dan informasi.
Atas dasar kenyataan itu maka terlalu naif bila tetap
beranggapan bahwa dalam globalisasi yang sedang terjadi saat ini akan dicapai
suatu perolehan, baik kesempatan maupun hasil yang adil bagi semua pihak.
Secara lebih tegas adalah adanya pihak yang lebih diuntungkan dan dirugikan
dalam ’setting’ situasi dan kondisi seperti ini. Dan secara mudah dapat diterka
bahwa negara-negara maju memiliki peluang yang lebih besar dari pada
negara-negara berkembang yang terpaksa harus menerima nasib sebagai pihak yang
akan banyak dirugikan.
Fokus perhatian pada masalah keterkaitan antara suatu
’bentuk teknologi’ dengan ’sistem kebudayaan’ menjadi kian relevan manakala
muncul suatu kenyataan bahwa kesuksesan dari negara-negara maju sebagai
produsen utama perangkat teknologi tersebut telah menciptakan, merekayasa, dan
mensosialisasikan ’simbol-simbol’ baru tentang kemajuan suatu peradaban dan
pada akhirnya mendorong dan memacu negara-negara berkembang ikut ’terseret’ ke
dalam setting modernisasi tersebut. Hanya saja perbedaannya, posisi
negara-negara berkembang bukan turut berperan sebagai produsen suatu bentuk
teknologi, tetapi lebih sekedar menjadi konsumen berbagai produk teknologi yang
dihasilkan negara-negara maju melalui proyek ’transfer teknologi’. Kegiatan ini
selanjutnya menjadi populer bagi negara berkembang karena dipandang dapat
menjadi sumber ’kekuatan baru’ di dalam melakukan pembangunan (modernisasi),
khususnya atas kemampuannya menciptakan efisiensi biaya operasional serta
kemampuan untuk meningkatkan produktivitas.
Dengan demikian globalisasi menuntut pengintegrasian
seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, baik di bidang ekonomi, politik,
social dan budaya. Globalisasi sejatinya adalah anak kandung dari kapitalisme.
Kapitalisme yang awalnya hanya dilakukan dalam suatu negara kemudian merambah
ke dunia lain dan demi memasarkan produk-produk mereka dan mencari keuntungan
demi mengakumulasikan modal. Bila pada masa kolonialisme, kapitalisme melakukan
koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar namun masa pascakolonial
kapitalisme “membonceng” kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Era globalisasi mendorong adanya pasar bebas yang membuat
modal begitu mudah keluar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar
bebas akan membuat suatu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Selain
itu, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas
negara menjadi samar. Dan pada akhirnya menjadi alasan kuat untuk memberikan
perhatian pada masalah identitas budaya nasional. Karena dengan adanya adopsi
proses suatu bentuk teknologi komunikasi dan informasi tersebut, memberikan
berbagai bentuk implikasi tertentu dalam pola hubungan ekonomi, politik,
sosial, dan budaya, baik di dalam masyarakat itu sendiri (sebagai akibat masuknya
rasionalitas teknologis modern ke dalam sistem berpikir masyarakat yang
tradisional) maupun pada saat berinteraksi antarnegara (akibat masuknya negara
ke dalam perangkap ketergantungan terhadap negara lain; khususnya
ketergantungan teknologis).
Berkaitan dengan masalah perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi serta fenomena transfer teknologi antarnegara maka
dapat diketahui bahwa menurut Dizard (1989) negara Amerika Serikat merupakan
produsen utama perangkat teknologi komunikasi seperti komputer, satelit
komunikasi, industri film, jaringan telepon, serta industri siaran
(broadcasting) baik televisi maupun radio, bila dibandingkan dengan
negara-negara lainnya. Bahkan menurut hasil penelitian sebelumnya dari Collins
(1988), dari semua jenis produk yang telah ’mendunia’, dimana Amerika Serikat
memimpin dalam kapasitasnya sebagai produsen dan pengekspor berbagai program
siaran televisi selama lebih dari 30 tahun terakhir.
Lebih lanjut Parker (1996) menjelaskan bahwa dengan
adanya kenyataan tersebut pada akhirnya mengundang kritik dari Schiller (1989)
yang menyatakan bahwa kencenderungan adanya dominasi televisi Amerika Serikat
tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk ’imperialisme budaya’, dimana
pada kelanjutannya telah menyebabkan ’gegar budaya’ ataupun ’kehebohan budaya’
bagi negara-negara lain yang menerimanya (recipient countries). Bahkan kondisi
ini seperti ini telah diisyaratkan oleh Schiller jauh sebelumnya bahwa jika
’imperialisme’ dipahami sebagai suatu upaya untuk merekayasa pelanggengan
kekuasaan suatu negara, yang dilakukan dengan cara memperluas kekuatan kontrol
dan dominasi, maka tindakan Amerika Serikat mengekspor produk industri
televisinya ke negara-negara lain dapat dinilai sebagai ’global American
electronic invasion’.
Imperialisme dapat dilihat dari aktivitas transfer
teknologi komunikasi dalam hal ini adalah media massa yang menjadi pengantar
dan perantara masuknya nilai-nilai modern (Barat) tersebut, baik yang konkret
dalam bentuk pesan-pesan budaya maupun yang masih tersembunyi di balik bentuk
fisik teknologi sehingga menghancurkan nilai-nilai tradisional masyarakat yang
mengadopsi teknologi komunikasi tersebut.
Saat ini, dalam hal kebudayaan dapat dilihat bagaimana
kebudayaan Amerika dan Eropa sebagai representasi kekuatan kapitalisme dunia
yang mencitrakan dirinya sebagai kebudayaan yang adiluhung. Masyarakat dunia
ketiga yakni negara-negara yang berkembang, secara tidak sadar dipaksa
mengintegrasikan dirinya ke dalam bagian dari kebudayaan tersebut.
Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi
baru dalam bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi
dengan mediasi computer melalui jaringan on line internet di dunia maya, antara
orang banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari berbagai belahan
dunia tanpa batas (Mcquail, 2002 hal. 113). Melalui CMC ini peran pengakses
internet menjadi akrab dengan situs global seperti Yahoo, Hotmail, dll. Dengan
demikian informasi yang begitu mudah menyebar, sekaligus mendorong terjadinya
fenomena globalisasi budaya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk
Indonesia malah sering menjadi objek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang
terjadi mengalirkan begitu banyak informasi dari Negara-negara maju khususnya
Barat kenegaraan berkembang. Atau terjadinya unevent globalization, globalisasi
yang timpang (Lister et all; 2003:200).
Konsep Free Flow of Information antar negara di dunia
yang pernah diperjuangkan pada massa 1980-an menjadi wacana pada tataran
konseptual (McBride, 1982). Praktek arus informasi di media-media internasional
masih didominasi negara maju, terutama Amerika Serikat. Negara dunia ketiga
lebih banyak menjadi penerima, tanpa mampu mengirimkan secara seimbang
informasi mengenai negaranya, yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme
budaya negara barat, khususnya AS. Melalui penyebaran informasi tadi telah
menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain di dunia.
Dari informasi pemberitaan, film, lagu, hingga gaya hidup orang AS. Menjadi
trend di berbagai negara termasuk Indonesia.
McDonald adalah contoh dari simbol yang sangat tepat dari
internasionalisasi aspek budaya AS dalam praktek bisnis yang merabah keseluruh
dunia. Keberadaan McDonald hingga Moskow dan kota-kota Eropa Timur yang lain,
merupakan simbol yang amat tampak dari adanya pergeseran ekonomi sosialisme
menjadi ekonomi pasar (Ritzer, 2000). Keberhasilan McDonald membawa resep
standard dari pusat di AS melalui strategi penyesuaian dengan selera lokal,
telah mampu menancapkan kuku investasinya, baik di negara yang penduduknya
mayoritas Muslim, Kristen, Hindu dan Budha. “They know local tastes a
beefburger is unwelcome in Hindu India, a baconburger can not be sold in Muslim
countries demands alteration to the recipes”.
Pusat industri media dunia sebagai penyebaran budaya
global, benar-benar semakin menjadi alat kapitalisme. Media massa sebagai
produsen budaya, dewasa ini lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari
keuntungan. Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau kemana-mana,
melintas batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi
hanya pada beberapa orang aja.
Konsentrasi media global tentu saja akan mengurangi bobot
peran media dalam proses demokrasi, maupun representasi keragaman publik dunia,
sebagaimana dibahas oleh Robert W Mc. Chesney. Mereka melihat semakin kuatnya
media massa dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis, dan kecenderungan berlaku di
dunia, termasuk Indonesia. Pada dasarnya karakteristik pengusaha pemilik
holdings media, atau sering dikenal dengan istilah the mogul, dimana pun
mempunyai kecenderungan yang sama. Yaitu senantiasa berupaya memperbesar
jaringan usahanya, kemudian mengakumulasikan keuntungan dan model itu untuk
kepentingan mereka, yang pada akhirnya sering bertentangan dengan ketentuan
keadilan dan demokrasi.
Gramsci, seorang teoritikus politik dari Italia
memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam studi social dan kebudayaan. Ia
memberikan penjelasan atas fenomena bertahannya kapitalisme hingga hari ini.
Gramsci menemukan jawabannya ketika ia menyaksikan di masa hidupnya bahwa
masyarakat yang berada di bawah tekanan rejim fasis Mussolini, tidak melakukan
perlawanan terhadap rejim fasis yang berkuasa. Perlawanan seharusnya terjadi di
Italia, namun kenyataan berkata lain, yang terjadi adalah rakyat menerima dan
rela hidup dengan penderitaan dan mendukung rejim yang berkuasa yaitu rejim
Mussolini. Gramsci terus mencari tahu dan akhirnya menemukan jawaban atas
fenomena ini yaitu : hegemoni.
Hegemoni terjadi ketika masyarakat yang dikuasai oleh
kelas yang dominant bersepakat dengan ideology, gaya hidup dan cara berpikir
dari kelas dominant. Sehingga kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas
yang berkuasa.
Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan
bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai
kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah
menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang
didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh
kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang
seharusnya terjadi.
Pada saat ini hegemoni kapitalisme telah begitu
mencengkram. Kecenderungan pesan mengalir dari arus budaya utama (mainstream)
yakni budaya yang dibangun dari wilayah pusat (centrum) yang bertempat di
belahan bumi utara, yaitu budaya barat (Amerika dan Eropa) ke masyarakat yang
lemah dalam pengusaan tekologi, informasi, sumber daya manusia, dan sumber
keuangan, yaitu bumi selatan (seperti Asia, Afrika, Amerika Latin) yang disebut
sebagai wilayah pinggiran (pheriperique) sering dianggap sebagai proses
dominasi budaya (cultural domination). Kekuatan dominasi budaya yang disebarkan
melalui media massa dan pengaruh kuat promosi media massa, mampu menciptakan
kondisi masyarakat yang seragam (cultural homogenization). Budaya utama
tersebut dihembuskan oleh kekuatan modal dan teknologi, kemampuan sumber daya
manusia dan jaringan telekomunikasi dan tanpa terasa telah diterima secara
sukarela sebagai sebuah kebutuhan.
Perubahan dan dinamika social politik yang berkembang di
suatu negara sangat mungkin disebabkan oleh karena pengaruh wacana dan isu-isu
internasional yang sengaja dihembuskan oleh beberapa negara raksasa untuk
mencapai tujuan akhir, yaitu hegemoni dan dominasi. Misalnya, isu lingkungan
hidup, HAM, krisis ekonomi, gender, terorisme dan good governance semua tertuju
pada masalah kekuasaan. Dampak yang semakin dirasakan oleh masyarakat local
adalah terjadinya pergeseran nilai dan norma social budaya yang berubah sangat
cepat.
Masyarakat dunia ketiga umumnya tidak merasa kalau
dirinya dieksploitasi oleh negara industri maju. Terdapat proses internalisasi
nilai yang dilakukan negara maju ke negara dunia ketiga melalui “aparat”
kebudayaan yang juga merupakan “agent of change” seperti film, televise,
internet, musik dan lain sebagainya yang telah bekerja dengan begitu sempurna.
Media massa dalam hal ini merupakan media yang sangat
mendukung berkembangnya hegemoni budaya. Kemampuan teknologi dan kemapanan media
jurnalistik dan komunikasi berperan dalam menyebarkan budaya-budaya popular
sehingga menjadi budaya global. Kita melihat bagaimana film dan penyiaran di
dunia ketiga terutama Indonesia hampir seluruhnya berkiblat pada kebudayaan
barat.
Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka
produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai suatu
yang netral termasuk media penyiaran seperti televise dan radio. Terdapat
kepentingan ideologis di dalamnya yang bermain dari sekelompok kepentingan yang
berkaitan dengan ekonomi, politik. Keberadaan media pada akhirnya akan
didominasi oleh sekelompok pemodal yang ingin menguasai dunia melalui uangnya.
Fenomena mengglobalnya media massa harus dilihat sebagai upaya kaum kapitalis
dunia dalam menancapkan pengaruhnya ke seluruh bagian dunia.
Media massa khususnya televise pada gilirannya akan
diposisikan menjadi agen kebudayaan dari kelas dominant yang ada dalam
kehidupan, kekuasaan pemodal. Realitas yang disajikan medium televisi bukanlah
realitas yang sebenarnya, tetapi realitas yang telah melalui proses “seleksi”.
Seleksi dilakukan oleh sekelompok orang – jurnalis- , pekerja di rumah
produksi, produser, sutradara, hingga pemilik yang yang memiliki system nilai
dan ideology tertentu. Hal inilah yang menyebabkan televisi menjadi tidak bebas
nilai. Dapat kita lihat sekarang ini dimana yang berkuasa adalah industri maju,
maka televise akan menjadi agen system nilai, ideology, dan aparat hegemoni
kesadaran. Hampir seluruh acara yang ditayangkan televise kita
merepresentasikan kepentingan budaya yang ada di dunia maju. Bahkan film-film
yang ditayangkan adalah film produksi sineas Amerika dan Eropa; seperti Bioskop
Trans TV, Layar Emas Box Office RCTI, dan Blockbuster ANTV. Tentunya system
nilai dan ideology yang digambarkan sangat bias Amerika dan Eropa. Selain itu,
karena televisi dikuasai pemodal maka siaran yang akan ditayangkan akan
memperteguh dan mengukuhkan dominasi kaum pemodal. Kebudayaan yang disajikan ke
khalayak luas pun kebudayaan yang tidak akan mengganggu eksistensi pemodal.
Dengan semakin mengglobalnya televise, maka tidak aneh bila kebudayaan yang ada
di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di Negara
maju. Bila terjadi terus menerus maka Amerika dan Eropa akan dianggap sebagai
impian jutaan manusia.
Kecenderungan struktur industri media di dunia, khususnya
di AS dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan William
Hoynes (2001; 73) mengalami empat (4) macam perkembangan, yaitu:
1. Growth (Pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan
fenomena mergers antara perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan
merabah kemana-mana.
2. Integration (Integrasi), raksasa media baru
terintegrasi secara horisontal dengan bergerak ke bebagai bentuk media, seperti
film, penerbitan, radio, dll. Integrasi perusahaan media bisa juga terbentuk
secara vertikal dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan produksi dan
distribusi, misalnya memiliki perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan
bioskop, DVD dan jaringan stasiun televisi.
3. Globalization, untuk meningkatkan derajat keagamaan,
konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang
menembus yuridiksi negara dan mendunia.
4. Concentration of Ownership, kepemimpinan holdings media
yang menjadi mainstream dunia semakin terkonstrasi kepemilikannya.
Berkah desa global (Marshall Mc Luhan) telah menciptakan
apa yang disebut dengan gaya hidup global (the global life style). Gaya hidup
global yang di bawa oleh media massa ditandai dengan membanjirnya produk impor
atau dari multinational corporation yang secara massal mengembangkan
industrinya hampir di seluruh dunia, seperti pakaian, minuman, aksesoris, rumah
tangga, parfum sampai pada jenis hiburan, musik, film, sinetron, lagu-lagu
klasik dan popular, dalam bentuk vcd yang memungkinkan orang dapat memutar
sendiri di rumah-rumah. Produk-produk tersebut telah mendorong warga desa
global sebagai konsumen aktif, lebih besar sebagai pengguna produk-produk
tersebut daripada harus menjadi produktor. Inilah system kapitalisme sejati
yang membawa dunia dalam impian global. Akhirnya dunia menjadi lebih
kosmopolit, yang mana satu orang dengan orang lain tidak saja saling
memengaruhi tetapi juga saling mengeksploitasi dan mendominasi.
Hegemoni budaya yang berkembang di Indonesia sebenarnya
sudah sangat meresahkan, terutama mengenai pola hidup remaja Indonesia saat
ini, dimana ketika hegemoni budaya barat diberi label modern, maka di sanalah
jutaan anak muda negeri mengikut. Terdapat istilah generasi MTV, generasi yang
berpikir, berperilaku, dan berbusana meniru system budaya yang dipraktikan
budaya barat. Bila remaja saat ini tidak menonton MTV maka kita akan dianggap
norak, kampungan, dan tidak modern. Satu pemaknaan yang salah kaprah.
“Tren” pastinya ada karena sebuah kebutuhan, Tapi
sesungguhnya para korporat sadar bahwa kebutuhan itu dapat diciptakan.
Komunikasi visual pun tercipta sebagai ujung tombak kapitalis untuk menciptakan
rasa “aku harus beli”. Bagi Millen Kundera ini di sebut Imalogy, sebuah
pencitraan; cantik itu harus berkulit putih (pucat) seperti perempuan barat
umumnya, rambut bagus harus brunette, dan mata yang menggoda haruslah berwarna
biru atau hijau. Remaja Indonesia pun berlomba untuk mencitrakan dirinya
sendiri dengan mengkopi perempuan-perempuan barat. Selain itu, di bidang
ekonomi juga terjadi hegemoni di mana banyak bertebaran restoran-restoran ala
barat seperti McDonald, Kentucky Fried Chiken, Wendys, dan lain-lain.
Masyarakat sekarang ini bila tidak makan di McD atau minum Coca Cola maka kita
akan menjadi orang yang kampungan. Gejala ini merupakan suatu gejala
poskolonialisme, yaitu suatu kondisi masyarakat yang mabuk akan nilai-nilai.
Hal ini akan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat
sehari-hari dan menimbulkan factor-faktor negative dalam masyarakat, terutama
munculnya diorientasi dan dislokasi. Disorientasi adalah proses kebingungan
masyarakat karena kehilangan orientasi dalam kehidupan yang makin kompleks.
Masyarakat kesulitan untuk mengambil keputusan atau menentukan pilihan dari
tawaran yang makin banyak dan beragam, dari barang, jenis pekerjaan sampai gaya
hidup. Sedangkan dislokasi adalah kondisi dimana setiap orang tidak tahu berada
pada posisi dimana karena kompleksnya mikrokultur yang lahir karena gaya hidup global
yang cepat menular. Dalam kondisi seperti itu, makin banyak warga masyarakat
global yang semakin terpinggirkan oleh gegap gempita kehidupan yang kompetitif,
teralienasinya individu dari masyarakatnya, terjadinya krisis identitas di
segala lapisan.
Dapat dilihat saat ini bahwa hegemoni budaya barat telah
akrab dengan masyarakat Indonesia dan dengan sadar telah diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari seperti cara berpakaian, cara berpikir, selera
musik dan lainnya. Dari segi penggunaan bahasa juga, bahasa Inggris merupakan
salah satu bahasa internasional yang harus dikuasai oleh setiap orang. Bahasa
Inggris merupakan syarat utama dalam lowongan pekerjaan.
Sekarang ini tengah terjadi ’perang’ besar-besaran,
semboyan besar-besaran untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang,
perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan
dihormati sebagai orang kaya. Apa yang dikonsumsi masyarakat bukan lagi sesuatu
berdasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesautu yang disebut dalam istilah
teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra atau image menjadi sangat
penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi dimana
informasi bukan lagi sekedar sebagai alat atau modal untuk berdagang melainkan
menjadi produk itu sendiri. Maraknya industri yang di sebut production house
atau rumah produksi misalnya, menjadi indikasi untuk hal ini. Dia tidak
memproduksi barang melainkan informasi tentang barang, citra tentang barang.
Hegemoni budaya barat dapat mengancam keutuhan budaya bangsa
sendiri, karena itu untuk membebaskan masyarakat dari budaya barat, Gramsci
mengatakan bahwa peran pembebasan ini kepada kaum intelektual yang harus
menyadarkan masyarakat bahwa mereka tengah ditindas dan dihegemoni oleh
kekuasaan tertentu. Menurut Gramsci, terdapat dua macam kaum intelektual, yaitu
:
1. Kaum Intelek Organik yaitu kaum intelektual yang
menggerakkan massa untuk bebas dari hegemoni budaya barat dan menyadarkan
masyarakat bawah bahwa mereka telah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu.
Dalam kondisi seperti ini kaum intelektual harus membangun blok solidaritas
(civil society) guna melakukan perlawanan budaya dan melakukan delegitimasi
terhadap system kebudayaan dari kelas dominant.
2. Kaum intelektual tradisional yaitu kaum yang tidak
bergerak untuk membebaskan dari hegemoni, tidak melakukan penyadaran dan
menjadi agen kepentingan kelas berkuasa. llmu pengetahuan yang dimiliki kaum
intelektual jenis melegitimasi kekuasaan yang menindas. Biasanya menempati
berbagai posisi alamiah, filosofis dan religius. Mereka terdapat di berbagai
lembaga seperti sekolah, universitas, lembaga agama, media dan lain sebagainya.
Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, kaum intelektual menganggap diri mereka
independent karena bukan dari bagian politik nyata di masyarakat. Tapi menurut
Gramsci sesungguhnya mereka tidaklah independent karena mereka justru
memproduksi, memertahankan, menyebarkan ideology-ideologi yang membentuk
hegemoni dan kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam akal sehat
yang pada akhirnya akan menguntungkan pihak penguasa.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa
sesungguhnya kebudayaan bukanlah ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena
pertarungan kepentingan ideology dan kelas dalam masyarakat baik nasional
maupun internasional. Dalam konteks pertarungan kaum intelektual dituntut untuk
berpihak menjadi agen kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat
hegemoni dan dominasi. Peran kaum intelektual dalam kritik menjadi sangat
penting, membiarkan budaya berdiri tanpa kritik akan semakin menjauhkan manusia
dari keadaan yang humanis.
Bila kaum intelektual organic ingin menjadi pembebas maka
mereka harus memperkuat civil society sebagaimana yang disarankan Gramsci. Kaum
intelektual organic harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak
rakyat untuk belajar bersama-sama dalam memahami kebudayaan yang ada dalam
realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran
borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistematik. Setelah
massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk
memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang
diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap
budaya dominant.
Menciptakan Budaya tanding Terhadap Hegemoni Budaya
Dominasi budaya yang dilakukan melalui media massa oleh
masyarakat Barat pada akhirnya mulai disadari sebagai bentuk imperialisme
budaya baru. Bentuk imperialisme modern ini tidak lagi dilakukan dengan pesawat
terbang, meriam, peluru dan pasukan, tetapi dilakukan oleh media massa.
Ideologi yang disebarluaskan, tidak dipaksakan oleh
penguasa, tetapi merupakan pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan
dapat meresap, serta berperan dalam mengintepretasikan pengalaman. Proses ini
berlangsung secara tersembunyi, tetapi berlangsung terus menerus.
Kekuatan-kekuatan dominant yang dimiliki negara-negara
maju (pusat) tersebut sebagai pihak penguasa teknologi, juga digunakan untuk
mendominasi kaidah-kaidah moral dan intelektual yang berlaku di masyarakat
negara-negara berkembang (pinggiran) sebagai pihak pengadopsi teknolgi.
Akibatnya dalam tingkat tertentu semua ruang public dan semua aspek kehidupan
politik, social dan budaya yang dimiliki masyarakat tersebut menjadi masuk ke
dalam perangkap ‘hegemoni’.
Melihat kecenderungan demikian, maka hendaknya, dapat
dilakukan diantaranya dengan reformasi di bidang media massa seperti melakukan
deregulasi terhadap undang-undang pers, sesuai dengan kenyataan social budaya
Indonesia, terutama dalam memperkokoh semangat kebangsaan. Selain itu,
kebijakan negara terhadap media massa bukan untuk mengendalikan arus informasi
dari rakyat untuk rakyat tetapi bagaimana memberikan porsi yang cukup terhadap
produk mental local.
Saat ini, masyarakat Indonesia, pemerintah, seniman,
mulai merekonstruksi atas “KeIndonesiaan” melalui kebudayaan nasional, kesenian
daerah, promosi budaya sebagai wahana budaya tanding terhadap hegemoni budaya
tersebut. Sebenarnya, langkah tersebut telah dimulai pada masa orde baru yang
secara resmi mengupayakan aspek visual dan dekoratif kebudayaan asli Indonesia,
mulai dari restorasi monument-monumen purbakala, reproduksi gaya arsitektur
tradisional hingga mengajarkan konteks “keindonesiaan” kesenian-kesenian daerah
seperti seni tari serta penyebarluasan kerajinan tangan dan motif-motif
tradisional seperti kain batik, songket dan lain-lain dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu diterapkan nilai-nilai dan sikap yang digunakan sebagai
karakteristik figure kelompok suku bangsa sebagai indikasi kepribadian
Indonesia.
Erosi budaya local yang terus menerus mengikis budaya
local, kian dipercaya akan mampu menghancurkan local genie secara
perlahan-lahan dan menggantikan dengan kebudayaan baru yang tercerabut dari
akar budaya genius lokalnya. Dominasi budaya dan hegemoni budaya dapat
dikurangi setidaknya dapat diletakkan pada porsinya yang selaras dengan budaya
setempat, ketika ada kesadaran dan upaya untuk mengatasi keterasingan
masyarakat dan keterasingan cultural dengan cara yang kritis.
Dalam kondisi seperti ini pula, kajian komunikasi
antarbudaya menawarkan kesadaran pentingnya keterbukaan setiap bangsa untuk
mengerti, memahami dan bersikap kritis guna mengantisipasi efek budaya
mainstream terhadap budaya sendiri. Sikap arif dan bijaksana, yakni perlunya
mengakrabi secara kritis akibat dampak yang ditimbulkannya dan bukan untuk
menghindari secara membabi buta karena budaya asing.
Globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti
dunia runtuh, dan tidak pula semua orang menjadi pesimis. Sebagaimana
dikemukakan oleh Richard Dawkins yang menunjukkan konsep ketahanan sosial
masyarakat dari perubahan. Dawkins mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan
sosial. Setiap kelompok memiliki meme, sebagaimana individu memiliki gen yang
akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok sosial akan
memertahankan karakteristik nilai-nilai sosial budayanya kendati kelompok itu
diterpa serbuan guncangan budaya lain. Meme menyebar melalui komunikasi dan
sosialisasi. Ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di benak
seseorang, yang memengaruhi kejadian di lingkungannya sedemikian rupa sehingga
makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998), contohnya budaya Jepang.
Aksi postmodernisme juga memberikan angin segar bagi
budaya lokal dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan
dengan berbagai hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali
kepada hal-hal bersifat etnik, tradisional, dikenal dengan retradisionalisasi.
Hidup Berkepribadian dengan Kebudayaan Sendiri
Manusia dengan kebudayaan
itu saling menciptakan, manusia menciptakan kebudayaan melalui cipta, karsa dan
karya. Selanjutnya kebudayaan yang sudah diciptakan itu membentuk manusia yang
hidup di dalamnya sesuai dengan pola yang dibentuk oleh kebudayaan itu. Manusia
hanya bisa hidup dalam kebudayaan, karena kebudayaan merupakan kesadaran
bersama, yang membentuk pola pikir dan kesadaran yang terpola dan teratur.
Kebudayaan dalam taraf ini dikenal dengan kosmologi, sebagai sebuah cara hidup
dan cara pandang yang tertib, teratur dan ajek.
Dalam sistem modern dengan sarana komunikasi yang hebat
dan canggih, sebuah kebudayaan yang besar bisa memaksakan keberadaannya pada
bangsa lain, sehingga memaksa orang lain hidup di luar kebudayaannya sendiri.
Ketercerabutan budaya mewarnai kehidupan masyarakat modern, yang terjadi karena
proses migrasi, kemudian masuk ke wilayah budaya lain. Tetapi yang repot
ketercerabutan itu adalah akibat proses hegemoni.
Hegemoni kebudayaan itu berjalan melalui media massa,
kesenian, pendidikan dan penerbitan berbagai buku. Dengan mengadopsi budaya
luar yang hegemonim itu suatu bangsa akan kehilangan persentuhan bahkan rujukan
dengan budayanya sendiri. Padahal berpijak pada tradisi sendiri merupakan pangkal
kemajuan, bukan sebaiknya, kemajuan ditempuh dengan meninggalkan tradisi
sendiri. Karena dengan cara itu pembaruan tidak mengakar, sehingga tidak akan
bisa tumbuh subur dan kuat.
Kita bisa saksikan sebuah bangsa besar seperti Turki
dengan kekhalifahan Dinasti Usmani yang sangat besar itu, tiba-tiba diganti
oleh Kemal Attaturk dengan tradisi Barat secara total, sejak dari sistem
pemerintahan, sistem pendidikan dan perekonomiannya. Hingga saat ini Turki
tidak menjadi negara besar, bahkan semakin kecil, mau masuk ke Uni Eropa saja
gagal baik karena diskriminasi maupun karena kemajuan negara itu yang tidak
berarti walaupun sudah membaratkan diri mereka secara total. Justeru karena
pembaratannya, dengan imitasinya itu Turki kehilangan kepribadiannya. Dengan
tanpa kepribadian tidak mungkin suatu bangsa bisa berkembang dan disegani
orang.
Sebaliknya bangsa Jepang, ketika ditaklukkan Amerika
hanya satu permintaan Kaisar yaitu bangsa Jepang ingin dibolehkan hidup dengan
tradisi bangsa Jepang: Sistem politik Jepang, sistem pendidikan Jepang, sistem
kalender Jepang dan penggunaan huruf Jepang. Berbeda dengan Turki yang
terpuruk, Jepang dengan kejepangannya mampu menampilkan diri sebagai negara
yang maju bisa berdiri dan duduk sejajar dengan peradaban Barat, tetapi tidak
meninggalkan tradisi, justeru Jepang maju dengan modal tradisi.
Sementara di Indonesia sejak awal melakukan modernisasi
terutama sejak Orde Baru langkah yang dilakukan adalah menghancurkan tradisi,
karena tradisi dianggap sebagai penghalang kemajuan. Maka sekarang ini sedikit
sekali tradisi yang tersisa. Apalagi dengan gencarnya siaran media, hampir
tidak lagi mengapresiasi tradisi sendiri, semuanya menyuguhkan budaya asing
yang dianggap lebih modern. Setiap hari kebudayaan sendiri semakin tersisih,
sementara budaya asing semakin mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian itu bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan
direkayasa dengan harapan bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain kalau
bangsa ini telah mengambil budaya lain. Maka yang terjadi adalah peniruan atau
imitasi dan penjiplakan, sementara tidak mungkin orang bisa besar dengan
menjiplak, pasti kualitasnya di bawah budaya utama. Maka akhirnya daya saing
yang diharapkan tidak pernah muncul, sementara kebudayaan sendiri terlanjur sudah
dikesampingkan, tidak dihormati oleh bangsa sendiri.
Baru ketika bangsa lain menghormati kebudayaan kita, kita
baru tersadar untuk ikut mengapresiasi kebudayaan sendiri, yang sudah kita
tinggalkan, akhirnya bangsa asinglah yang menguasai kebudayaan kita. Sementara
imperialisme kebudayaan ini adalah bagian penting dari imperialisme politik dan
ekonomi, maka imperialisme kebudayaan dijalankan dalam rangka memperlancar
imperialisme politik dan ekonomi itu.
Dengan imperialisme kebudayaan itu kita tercerabut dari
kebudayaan sendiri, akhirnya kita sebagai gelandangan budaya dan mengalami
kemiskinan budaya. Sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki imajinasi,
bangsa yang kehilangan mimpi sehingga tidak bisa menjadi bangsa yang cerdas dan
kreatif. Memang hidup dengan basis kebudayaan sendiri yang sudah terlanjur
diremehkan, dihinakan agak repot, kecuali bagi orang yang penuh percaya diri.
Padahal hidup dengan kebudayaan sendiri itulah kunci kemajuan, dengan budaya
sendiri seseorang atau suatu bangsa akan memiliki kepribadian. Dengan
berkepribadian itulah bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.
Bangsa kita yang terdiri dari berbagai suku bangsa,
budaya dan bahasa, memiliki berbagai sumber kebudayaan yang bisa dikembangkan.
Baik dikembangkan menjadi sistem pemerintahan, kenegaraan, sistem pendidikan,
sistem pertahanan dan sistem ekonomi. Bangsa ini pernah menjadi bangsa besar
sebelum dihancurkan oleh penjajah, justeru karena dengan sistem pemerintahan
sendiri, sistem pendidikan sendiri. Dalam proses ini selain dibutuhkan
keberanian mengangkat budaya sendiri, juga dibutuhkan kemampuan untuk
menafsirkan kembali kebudayaan sendiri, setelah itu dibutuhkan keberanian moral
dan keberanian politik untuk melakukan perubahan kebudayaan.
Kebudayaan
bagi bangsa yang memiliki kepribadian, bukan sekadar konsep akademik, tetapi
sudah merupakan strategi perubahan. Dengan cara pada suatu kebudayaan
ditransformasikan dan menuju arah mana kebudayaan itu ditransformasikan.
Politik kebudayaan mempersyaratkan adanya aktor kebudayaan yang memiliki
kepribadian, hanya dengan cara itu mereka memiliki keberanian moral untuk
melakukan pendobrakan dari kejenuhan dan kebuntuan, untuk menerobos berbagai
kemungkinan, untuk menciptakan peluang dan harapan.
Daftar Pustaka
Gillin, Todd. 1979. Prime Time
Ideology: The Hegemonic Process In Television, in Newcomb, Horace, ed. 1994,
Television: The Critical View. Fifth Edition. New York: Oxfod University Press
Hall. T. Edward. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. New York: Anchor
Books. 1984.
Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Lifestyle
Ectasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta:
Jalasutra.
Liliweri, Alo. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001
_________. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar. 2004
_________. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.
LKiS. Jakarta. 2005
_________. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS. 2007
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat
[Ed]. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang
Berbeda Budaya. Remaja Rosdakarya: Bandung.
_____________. 2004. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintas
Budaya. Remaja Rosdakarya: Bandung
_____________. 2009. Ilmu Komunikasi
Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya: Bandung
Rumondor, Alex H., dkk. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta:
Universitas Terbuka. 2005.
Samovar, larry A., Porter, Richard E.
Communication Between Culture. Fifth
edition.
Thomson Wadsworth Canada. 2004
Simon, Roger. 1991. Gramsci’s
Political Thought; An Introduction. London: Lawrence and Wishart
Varner, Iris. Beamer, Linda. Intercultural Communication In The Global
Workplace. Third edition. Mc Graw Hill Singapore. 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar