Minggu, 03 Januari 2016

Kompetensi Budaya

A.   Kompetensi

Sering kali kita mendengar kata. kompetensi. Ketika seorang sekretaris penyelenggara suatu program Pascasarjana menelepon saya untuk mengajar mata kuliah teori-teori Ilmu Komunikasi, kata. dia, “Bapak yang mempunyai kompetensi untuk mengajar mata kuliah itu.” Ketika banyak orang berkumpul di jalan raya. El Tari, Kupang, menyaksikan kecelakaan lalu lintas, seorang ibu berkata, “hanya polisi lalu lintas yang berkompeten untuk memeriksa kecelakaan ini”. Apa kompetensi itu?
Kate competence adalah state of being capable, atau dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang (Webster’s, 1997) sehingga dapat berfungsi dalam cara-cara yang mendesak dan penting. John Wieman dan James Bradaac (1989), yang dikutip Gudykunst (1991, h1m. 101), mengemukakan bahwa setiap hari kita menampilkan kompetensi dalam bentuk pernyataan yang sederhana misalnya ’cukup memadai’ (adequate, sufficient, dan suitable).Yang dimaksudkan dengan, misalnya, kompetensi komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang komunikator, atau kemampuan tertentu, kemampuan yang cukup dari seorang komunikator untuk menghindari perangkap atau hambatan komunikasi. Misalnya, mampu meminimalisasi kesalahpahaman,
Kekurang-mengertian, dan memahami perbedaan sikap dan persepsi orang lain. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi antarbudaya adalah kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok, organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, ketrampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya. Kompetensi antarbudaya merupakan suatu perilaku yang kongruen, sikap, struktur, juga kebijakan yang datang bersamaan atau menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya.
Setiap kompetensi antarbudaya dari seorang individu tergantung pada institusi sosial, organisasi, kelompok kerja, dan tempat individu berada (secara fisik maupun sosial). Semua faktor itu membentuk sebuah sistem yang mempengaruhi kompetensi antarbudaya individu yang efektif. Jadi, secara makro dapat dikatakan bahwa kompetensi antarbudaya merupakan tanggung jawab atas total sistem sebuah kebudayaan. Selanjutnya, kita akan berdiskusi tentang bagaimana aturan, infrastuktur, kebijakan, agen-agen institusi yang mendalami ketrampilan, kepercayaan, nilai, dan perilaku individu, untuk meningkatkan kompetensi antarbudaya. Singkat kata, kompetensi antarbudaya berkaitan dengan suatu keadaan dan kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi perbedaan budaya.
Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi antarbudaya, yaitu:
1. Adanya perbedaan nilai antarbudaya,
2. Tata aturan budaya cenderung mengatur dirinya sendiri,
3. Kesadaran untuk mengelola dinamika perbedaan,
4. Pengetahuan kebudayaan yang sudah institusionalisasi, dan
5. Mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi melayani orang lain.

Mengembangkan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya  
Dengan kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks, demikian kata Gudykunst (1991, hlm. 102). Konteks tersebut itu adalah (1) konteks verbal, misalnya berkaitan dengan pembentukan kata-kata, kahmat, dalam sebuah pernyataan dan topik; (2) konteks relasi, yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gaga pesan dalam berkomunikasi dengan orang lain; (3) konteks hngkungan fisik maupun sosial suatu masyarakat yang menggambarkan bentuk penerimaan dan penolakan tanda, simbol, ataupun pesan dalam komunikasi.

Unsur-unsur Kompetensi

Pada suatu waktu, seseorang mengundang Anda untuk memberikan ceramah, orang itu bilang bahwa Anda memiliki kompetensi. Pernyataan itu adalah kesan. Kompetensi adalah sebuah kesan (Spitzberg & Cupach, 1984, h1m. 115). la mengatakan bahwa pandangan menyeluruh tentang kompetensi komunikasi tidak boleh tidak harus disamakan dengan kesan dari seseorang yang menjadi lawan bicara kita.
Misalnya, kadang-kadang saya melihat diri saya sebagai seseorang yang berkompeten dan mengharapkan supaya orang lain akan mengatakan hal yang sama. Namur, di lain pihak harus diakui bahwa orang lain ‘di luar’ saya akan mengatakan hal yang mungkin sekali sangat berbeda tentang saya, atau tentang kompetensi saya. Kalau kita hendak memahami kompetensi komunikasi maka pemahaman itu harus diletakkan dalam dua aspek, yaitu bagaimana saya mehhat diri saya dan bagaimana orang lain mempersepsi saya. Itulah yang membuat orang selalu menyebutkan bahwa kompetensi merupakan sebuah kesan, kalau tak mau dibilang kompetensi berkaitan erat dengan citra.
Ada beberapa implikasi dari pernyataan Spitzberg itu, demikian kata Mc. Fall (1982). Pertama, kompetensi tidak selalu harus aktual sesuai dengan tampilan seseorang, kompetensi adalah sebuah’evaluasi atas tampilan yang dilihat oleh orang lain. Kedua, fakta bahwa’seseorang’ telah mengevaluasi sesuatu yang mungkin saja evaluasi itu melenceng, bias, atau menarik sebuah kesimpulan yang salah; atau membuat perbedaan penilaian dengan menggunakan kriteria yang sama, namun menghasilkan kompetensi yang berbeda. Ketiga, evaluasi itu harus dibentuk dengan merujuk pada sejumlah kriteria, baik implisit maupun eksplisit. Evaluasi itu sendiri menjadi tidak dapat dipahami atau tidak valid karena tidak didukung oleh pengetahuan tentang kriteria atau bagaimana kriteria itu disusun. Sehingga tampilan yang sama, bisa jadi dikatakan berkompeten oleh suatu standar tertentu, namun tidak kompeten menurut kriteria yang lain.
Meskipun begitu, umumnya pembicaraan tentang kompetensi jelas menghendaki adanya suatu ketrampilan atau kecakapan yang dimiliki, di saat berkomunikasi dengan orang lain, dan ketepatan itu ditentukan pula oleh lawan bicara kita. Dalam contoh yang telah dikemukakan pada bab terdahulu jika orang Jepang mengawali perkenalan dengan Anda, dan bertanya: ‘Berapa usia Anda?’ maka ungkapan itu sama dengan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang di Amerika Utara. Orang Jepang yang lain mengamati percakapan demikian sebagai evaluasi yang tepat terhadap lawan bicara, atau mungkin sekadar basa-basi semata-mata. Mungkin sekali, orang Amerika Utara akan melihat pertanyaan itu sebagai sesuatu yang kurang tepat di awal perkenalan antarpribadi. Dengan demikian maka banyak orang menggunakan standar yang berbeda atau bervariasi berdasarkan budaya masing-masing.
Carroll (1988) melukiskan perbedaan standar tersebut dalam komunikasi antara orang Amerika Utara dengan orang Prancis. Orang Prancis cenderung menilai bahwa sebuah percakapan antarpribadi harus dijiwai dalam situasi sosial. Kalau seorang Prancis bercakap-cakap, dengan Anda, percakapan itu selalu diikuti oleh gerakan-gerakan yang cepat dengan frekuensi interupsi, dan itu diperkenankan dalam kebudayaan mereka. Kadang-kadang pembicara Prancis mengajukan pertanyaan dan tanpa menunggu jawaban Anda. Bagaimana dengan orang Amerika Utara, mereka tak pernah diajarkan untuk menjawab dengan serampangan, mereka berusaha untuk mengurangi intrupsi. Jika ada seorang Prancis berbicara dengan seseorang dari Amerika Utara, orang Prancis bisa menginterpretasi perilaku dan percakapan orang Amerika Utara sebagai kurang memperhatikan situasi sosial. Dan sudah tentu, orang Prancis bilang bahwa orang Amerika Utara itu tidak berkompeten. Sebaliknya, orang Amerika Utara akan bilang bahwa tuan Prancis itu kurang berkompeten karena tak menjiwai percakapan antarpribadi itu.
Brian Spitzberg dan William Cupach (1984) menampilkan tiga komponen kompetensi komunikasi, yaitu (1) motivasi, (2) pengetahuan, dan (3) ketrampilan.

A. Motivasi
Motivasi adalah days tarik dari komunikator yang mendo¬rong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jonathan H. Turner (1987) menegaskan bahwa hanya basic needs tertentu yang mendorong motivasi seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Di sini, kebutuhan diartikan sebagai pernyataan yang fundamental dari seorang manusia bagi manusia dan kemanusiaan. Jika suatu saat Anda merasa kurang puss atau kurang enak menghadapi sebuah komunitas manusia yang menggantungkan hidupnya dari gerobak sampan, dan akibatnya Anda berkomunikasi maka itu dorongan yang manusiawi, itu artinya. motivasi.
Turner menegaskan beberapa kebutuhan dasar yang mendorong motivasi, di antaranya:
1.    Kebutuhan manusia akan perasaan aman (saya terdorong berkomunikasi karena saya tabu seseorang membutuhkan perlindungan);
2.    Kebutuhan akan rasa percaya terhadap, orang lain (saya terdorong untuk menugaskan Anda karena percaya Anda mampu menjadi pemimpin);

‘Kebutuhan akan keterlibatan kita dalam. kelompok (saya terdorong untuk menjadi anggota suatu kelompok tertentu karena saya percaya kelompok itu dapat melibatkan saya);
1.    Kebutuhan kita untuk menjauhi kecemasan (saya terdorong untuk berkonsultasi dengan Anda karena saya tahu saya cemas menghadapi ancaman teror);
2.    Kebutuhan kita untuk membagi pengalaman tentang dunia (karena saya terdorong untuk mengetahui informasi itu dari Anda yang mempunyai Internet);
3.    Kebutuhan kita terhadap faktor pemuas seperti material dan simbolis (saya terdorong untuk berkomunikasi dengan Anda karena saya tahu Anda dapat membantu meminjami uang);
4.    Kebutuhan kita akan bertahannya konsep diri (saya terdorong bergaul dengan Anda karena Anda tahu betul saya mempertahankan diri saya).

Patut diingat bahwa umumnya tingkat kebutuhan manusia itu bervariasi, mungkin sekah kebutuhan Anda terhadap tiga jenis kebutuhan pertama sangat kuat, lalu kebutuhan Anda atas menjauhi kecemasan berada pads taraf rata-rata, dan barangkah paling tinggi pads tiga kebutuhan terakhir, yakni membagi pengalaman, mencari kepuasan, dan mempertahankan konsep diri. Jadi, setiap orang memiliki kombinasi kebutuhan dan hal itu menentukan kekuatan motivasi orang untuk berkomunikasi dengan orang lain.

B. Pengetahuan
Mengapa pengetahuan mempengaruhi kompetensi komunikasi? Pengetahuan menentukan tingkat kesadaran atau pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam rangka komunikasi secara tepat dan efektif. Komponen pengetahuan turut menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini berkaitan erat dengan tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Bayangkan jika Anda berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal maka yang Anda butuhkan pertama dan utama adalah pengetahuan, siapakah orang itu? Dari kelompok mana dia berasal. Jadi, yang Anda butuhkan adalah mengurangi ting¬kat kecemasan, mencari informasi untuk mengisi pengetahuan Anda tentang orang asing itu. Dalam pencarian informasi ten-tang orang lain itulah, seorang ahli komunikasi Charles Berger (1979) mengajarkan kepada kita tiga tipe umum strategi yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi untuk mengu¬rangi tingkat ketidakpastian itu, yakni strategi pasif, strategi aktif, dan strategi interaktif.

Strategi Pasif
Anda memakai strategi pasif untuk mengetahui orang lain dengan menjadikan diri Anda berperan sebagai seorang pengamat. Anda ingin berkenalan dengan seorang pria Jepang bernama Yoko maka yang perlu diamati adalah bagaimana cara dia berkomunikasi dengan orang lain, cara dia menyapa dan bercakap-cakap. Apakah cara Yoko itu akan tetap sama kalau dia berkomunikasi dengan Anda. Bagaimana cara Yoko berbicara seandainya dia bertemu dengan orang Indonesia lain yang sebangsa dengan Anda? Itulah strategi pasif.

Strategi Akfif
Strategi aktif dilakukan untuk mencari tahu pribadi Yoko melalui orang yang mengenal dekat Yoko. Kalau Anda bertanya tentang Yoko maka informasi tentang dia dapat diperoleh dari teman-teman dia di masa kecil, teman-teman kuhah, dan teman-teman bisnis. Strategi ini dapat digunakan, namun perlu berhati-hati karena jika ada seseorang yang berteman baik dengan Yoko maka orang itu akan bercerita hal-hal yang baik-baik saja ten-tang Yoko, sebaliknya jika orang itu kurang bersahabat dengan Yoko maka dia akan bercerita tentang hal-hal yang buruk tentang Yoko. Langkah untuk mereduksinya adalah membaca literatur tentang bagaimana orang Jepang bergaul dengan sesama. Inilah strategi aktif.

Strategi Interaktif
Strategi terakhir adalah strategi interaktif, artinya Anda berhubungan langsung dengan Yoko. Strategi ini sangat menguntungkan karena Anda dapat menekan bias informasi yang salah mengenai pribadi Yoko. Siapkan beberapa pertanyaan secukupnya tentang apa yang Anda ingin ketahui dari Yoko. Inilah strategi interaktif.

C. Ketrampilan
Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan sebuah perilaku tertentu yang cukup dan mampu mendukung proses komunikasi secara tepat dan efektif. Tujuan utama dari ketrampilan sernata-mats untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan. Menurut Gudykunst, mengurangi atau mengendalikan kecemasan juga merupakan sebuah ketrampilan yang ditentukan oleh kesadaran dan bersikap toleran terhadap keadaan yang ambigu atau tak tentu. Untuk mengurangi ketidakpastian maka Anda sedapat mungkin memiliki tiga ketrampilan, yaitu empati, berperilaku seluwes mungkin, dan kemampuan untuk mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri. Dua ketrampilan pertama menjadi syarat cukup untuk membentuk ketrampilan ketiga, yakni mengurangi tingkat ketidakpastian.




Tahu Diri dan Sadar Diri Dalam Berkomunikasi


Ada pertanyaan pokok tatkala kita bicara tentang cara¬cara mengembangkan kompetensi komunikasi antarbudaya. Pertanyaan itu adalah apa yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi antarbudaya? Dalam komunikasi, kesalahpahaman ini terjadi karena ada gangguan. Konsep gangguan merupakan salah satu bagian penting yang sangat menentukan keberhasilan komunikasi.
Dalam model Shanon dan Weaver, gangguan dikonstruksi sebagai hambatan fisik berupa signal (statik, overload, angin, dan badai). Gangguan yang dibicarakan di sini adalah segala sesuatu yang memungkinkan terhambatnya komunikasi, jadi ada interupsi komunikasi. Misalnya, hambatan mental karena perhatian orang tidak terarah, memburuknya relasi antara mereka yang berkomunikasi, perbedaan bahasa, reaksi-reaksi emosional, perbedaan interpretasi karena pengetahuan (Jennifer E. Beer, 2000). Ada pula yang menambahkan dengan perbedaan latar belakang budaya, etnik, ras, persepsi, sikap, dan stereotip.
Ingatlah bahwa ketika komunikasi sedang berlangsung, Anda selalu meletakkan orang lain dalam kelompok budaya mereka, apakah itu suku bangsa, etnik, atau ras tertentu. Anda biasa bilang, dia orang Jepang yang kelebihan sopan santun, dia orang berkulit hitam (Negro) yang selalu bertindak kasar, mereka orang Meksiko yang terlalu parlente, kamu orang Kanada yang sangat mengutamakan formalitas. Inilih salah satu cara Anda memberikan stereotip kepada orang lain, dan stereotip itu sangat mempengaruhi komunikasi Anda dengan mereka. Bagaimanapun juga, stereotip terhadap anggota kelompok budaya Anda tentu akan lebih baik daripada stereotip Anda terhadap orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang lain. Atau dalam berkomunikasi, Anda dan saga sering menempatkan orang lain dalam stereotip yang selalu lebih jelek daripada kelompok kita. Guna mengembangkan kemampuan berkomunikasi antarbudaya, kita perlu mengubah kesadaran stereotip itu di saat berkomunikasi. Howel (1982) mengemukakan bahwa kesadaran dan kemampuan seseorang di saat berkomunikasi dapat membentuk 4 (empat) pola atau proses pildr. Lihat tabel berikut ini :
1
2
Conscious
Conscious
Incompetence
Competence
Sadar
Sadar
Tidak mampu
Mampu
3
4
Unconscious
Unconscious
Imcompetence
Competence
Tidak sadar
Tidak sadar
Tidak mampu
Mampu
Sumber Gudykunst (1991)

Kita berhadapan dengan empat keadaan sebagai berikut:
1.    Conscious Incompetence (sadar-tidak mampu) terjadi manakala kita sadar bahwa kita salah dan tidak mampu menginterpre­tasi perilaku orang lain;
2.    Conscious Competence (sadar-mampu) terjadi manakala kita sadar bahwa kita mampu menginterpretasi perilaku orang lain;
3.    Inconscious Incompetence (tidak sadar-tidak mampu) terjadi manakala kita tidak sadar bahwa kita tidak mampu mengin­terpretasi perilaku orang lain;
4.     Unconscious Competence (tidak sadar – mampu) terjadi mana­kala kita tidak sadar bahwa kita mampu menginterpretasi perilaku orang lain.

Konflik antara orang-orang yang berbeda etnik dan kelompok budaya yang masih sering terjadi seperti sekarang ini (Bosnia-Serbia, Israel-Arab, dan Protestan-Katolik) kerap kali ditimbulkan oleh karena ‘keterlibatari kita dalam empat pola di atas. Meskipun sumber-sumber konflik itu berbeda-beda dan sangat tergantung pads situasi tertentu, namun semua konflik antarpribadi, antarkelompok selalu bersumber dari hal yang sama, yaitu ‘polarisasi komunikasi. Yang dimaksudkan dengan ‘polarisasi komunikasi’ adalah kemampuan peserta komunikasi untuk saling menaruh kepercayaan, namun dalam keadaan ini ada pula peluang di mana para peserta komunikasi saling menampilkan pandangan yang salah atau keliru terhadap ketulusan komunikasi. ‘Polarisasi komunikasi’ terjadi ketika seseorang atau suatu kelompok mencari kepentingan sendiri dan hanya memiliki sedikit kepedulian terhadap minat orang lain. Hal ini membentuk pengucilan moral di mans kelompok-kelompok tertentu menerima kenyataan bahwa dirinya merupakan pihak luar dari suatu nilai moral, aturan hanya demi pertimbangan penerapan rasa adil.
Gudykunst yakin bahwa manusia mempunyai tanggung. jawab untuk mencoba menghargai perbedaan-perbedaan budaya atau etnik dalam sebuah konstruksi tampilan, dan tidak membentuk polarisasi komunikasi. Untuk menunaikan tanggung jawab itu maka berkomunikasi efektif harus dicoba dengan cara membentuk pesan sedemikian rupa sehingga orang lain bisa mengerti apa yang kita maksudkan, apa yang kita butuhkan, atau menanyakan pesan orang lain pads kita dengan cara sebagaimana yang mereka maksudkan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui cara memperbaharui komunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, kita harus mengerti kecenderungan yang normal tatkala kita berkomunikasi dengan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar