A. Kompetensi
Sering
kali kita mendengar kata. kompetensi. Ketika seorang sekretaris penyelenggara
suatu program Pascasarjana menelepon saya untuk mengajar mata kuliah
teori-teori Ilmu Komunikasi, kata. dia, “Bapak yang mempunyai kompetensi untuk
mengajar mata kuliah itu.” Ketika banyak orang berkumpul di jalan raya. El
Tari, Kupang, menyaksikan kecelakaan lalu lintas, seorang ibu berkata, “hanya
polisi lalu lintas yang berkompeten untuk memeriksa kecelakaan ini”. Apa
kompetensi itu?
Kate
competence adalah state of being capable, atau dapat diartikan sebagai suatu
keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang (Webster’s, 1997)
sehingga dapat berfungsi dalam cara-cara yang mendesak dan penting. John Wieman
dan James Bradaac (1989), yang dikutip Gudykunst (1991, h1m. 101), mengemukakan
bahwa setiap hari kita menampilkan kompetensi dalam bentuk pernyataan yang
sederhana misalnya ’cukup memadai’ (adequate,
sufficient, dan suitable).Yang dimaksudkan dengan, misalnya, kompetensi
komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang komunikator,
atau kemampuan tertentu, kemampuan yang cukup dari seorang komunikator untuk
menghindari perangkap atau hambatan komunikasi. Misalnya, mampu meminimalisasi
kesalahpahaman,
Kekurang-mengertian,
dan memahami perbedaan sikap dan persepsi orang lain. Oleh karena itu, yang dimaksud
dengan kompetensi antarbudaya adalah kompetensi yang dimiliki oleh seseorang
(baik secara pribadi, berkelompok, organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk
meningkatkan kapasitas, ketrampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan
kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya. Kompetensi
antarbudaya merupakan suatu perilaku yang kongruen, sikap, struktur, juga kebijakan
yang datang bersamaan atau menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya.
Setiap
kompetensi antarbudaya dari seorang individu tergantung pada institusi sosial,
organisasi, kelompok kerja, dan tempat individu berada (secara fisik maupun
sosial). Semua faktor itu membentuk sebuah sistem yang mempengaruhi kompetensi
antarbudaya individu yang efektif. Jadi, secara makro dapat dikatakan bahwa
kompetensi antarbudaya merupakan tanggung jawab atas total sistem sebuah
kebudayaan. Selanjutnya, kita akan berdiskusi tentang bagaimana aturan,
infrastuktur, kebijakan, agen-agen institusi yang mendalami ketrampilan, kepercayaan,
nilai, dan perilaku individu, untuk meningkatkan kompetensi antarbudaya.
Singkat kata, kompetensi antarbudaya berkaitan dengan suatu keadaan dan
kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi
perbedaan budaya.
Ada
beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi antarbudaya, yaitu:
1.
Adanya perbedaan nilai antarbudaya,
2.
Tata aturan budaya cenderung mengatur dirinya sendiri,
3.
Kesadaran untuk mengelola dinamika perbedaan,
4.
Pengetahuan kebudayaan yang sudah institusionalisasi, dan
5. Mengadaptasikan kekuatan semangat layanan
dalam keragaman budaya demi melayani orang lain.
Mengembangkan Kompetensi
Komunikasi Antarbudaya
Dengan
kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks, demikian kata Gudykunst
(1991, hlm. 102). Konteks tersebut itu adalah (1) konteks verbal, misalnya
berkaitan dengan pembentukan kata-kata, kahmat, dalam sebuah pernyataan dan
topik; (2) konteks relasi, yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gaga pesan
dalam berkomunikasi dengan orang lain; (3) konteks hngkungan fisik maupun
sosial suatu masyarakat yang menggambarkan bentuk penerimaan dan penolakan
tanda, simbol, ataupun pesan dalam komunikasi.
Unsur-unsur Kompetensi
Pada suatu waktu,
seseorang mengundang Anda untuk memberikan ceramah, orang itu bilang bahwa Anda
memiliki kompetensi. Pernyataan itu adalah kesan. Kompetensi adalah sebuah
kesan (Spitzberg & Cupach, 1984, h1m. 115). la mengatakan bahwa pandangan
menyeluruh tentang kompetensi komunikasi tidak boleh tidak harus disamakan
dengan kesan dari seseorang yang menjadi lawan bicara kita.
Misalnya, kadang-kadang
saya melihat diri saya sebagai seseorang yang berkompeten dan mengharapkan
supaya orang lain akan mengatakan hal yang sama. Namur, di lain pihak harus
diakui bahwa orang lain ‘di luar’ saya akan mengatakan hal yang mungkin sekali
sangat berbeda tentang saya, atau tentang kompetensi saya. Kalau kita hendak
memahami kompetensi komunikasi maka pemahaman itu harus diletakkan dalam dua
aspek, yaitu bagaimana saya mehhat diri saya dan bagaimana orang lain
mempersepsi saya. Itulah yang membuat orang selalu menyebutkan bahwa kompetensi
merupakan sebuah kesan, kalau tak mau dibilang kompetensi berkaitan erat dengan
citra.
Ada beberapa implikasi
dari pernyataan Spitzberg itu, demikian kata Mc. Fall (1982). Pertama,
kompetensi tidak selalu harus aktual sesuai dengan tampilan seseorang,
kompetensi adalah sebuah’evaluasi atas tampilan yang dilihat oleh orang lain.
Kedua, fakta bahwa’seseorang’ telah mengevaluasi sesuatu yang mungkin saja
evaluasi itu melenceng, bias, atau menarik sebuah kesimpulan yang salah; atau
membuat perbedaan penilaian dengan menggunakan kriteria yang sama, namun
menghasilkan kompetensi yang berbeda. Ketiga, evaluasi itu harus dibentuk
dengan merujuk pada sejumlah kriteria, baik implisit maupun eksplisit. Evaluasi
itu sendiri menjadi tidak dapat dipahami atau tidak valid karena tidak didukung
oleh pengetahuan tentang kriteria atau bagaimana kriteria itu disusun. Sehingga
tampilan yang sama, bisa jadi dikatakan berkompeten oleh suatu standar
tertentu, namun tidak kompeten menurut kriteria yang lain.
Meskipun begitu, umumnya
pembicaraan tentang kompetensi jelas menghendaki adanya suatu ketrampilan atau
kecakapan yang dimiliki, di saat berkomunikasi dengan orang lain, dan ketepatan
itu ditentukan pula oleh lawan bicara kita. Dalam contoh yang telah dikemukakan
pada bab terdahulu jika orang Jepang mengawali perkenalan dengan Anda, dan
bertanya: ‘Berapa usia Anda?’ maka ungkapan itu sama dengan kebiasaan yang
dilakukan oleh orang-orang di Amerika Utara. Orang Jepang yang lain mengamati
percakapan demikian sebagai evaluasi yang tepat terhadap lawan bicara, atau
mungkin sekadar basa-basi semata-mata. Mungkin sekali, orang Amerika Utara akan
melihat pertanyaan itu sebagai sesuatu yang kurang tepat di awal perkenalan
antarpribadi. Dengan demikian maka banyak orang menggunakan standar yang
berbeda atau bervariasi berdasarkan budaya masing-masing.
Carroll (1988) melukiskan
perbedaan standar tersebut dalam komunikasi antara orang Amerika Utara dengan
orang Prancis. Orang Prancis cenderung menilai bahwa sebuah percakapan
antarpribadi harus dijiwai dalam situasi sosial. Kalau seorang Prancis
bercakap-cakap, dengan Anda, percakapan itu selalu diikuti oleh gerakan-gerakan
yang cepat dengan frekuensi interupsi, dan itu diperkenankan dalam kebudayaan
mereka. Kadang-kadang pembicara Prancis mengajukan pertanyaan dan tanpa
menunggu jawaban Anda. Bagaimana dengan orang Amerika Utara, mereka tak pernah
diajarkan untuk menjawab dengan serampangan, mereka berusaha untuk mengurangi
intrupsi. Jika ada seorang Prancis berbicara dengan seseorang dari Amerika
Utara, orang Prancis bisa menginterpretasi perilaku dan percakapan orang Amerika
Utara sebagai kurang memperhatikan situasi sosial. Dan sudah tentu, orang
Prancis bilang bahwa orang Amerika Utara itu tidak berkompeten. Sebaliknya,
orang Amerika Utara akan bilang bahwa tuan Prancis itu kurang berkompeten
karena tak menjiwai percakapan antarpribadi itu.
Brian Spitzberg dan
William Cupach (1984) menampilkan tiga komponen kompetensi komunikasi, yaitu
(1) motivasi, (2) pengetahuan, dan (3) ketrampilan.
A. Motivasi
Motivasi adalah days
tarik dari komunikator yang mendo¬rong seseorang untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Jonathan H. Turner (1987) menegaskan bahwa hanya basic needs
tertentu yang mendorong motivasi seseorang untuk berinteraksi dengan orang
lain. Di sini, kebutuhan diartikan sebagai pernyataan yang fundamental dari
seorang manusia bagi manusia dan kemanusiaan. Jika suatu saat Anda merasa
kurang puss atau kurang enak menghadapi sebuah komunitas manusia yang menggantungkan
hidupnya dari gerobak sampan, dan akibatnya Anda berkomunikasi maka itu
dorongan yang manusiawi, itu artinya. motivasi.
Turner menegaskan beberapa
kebutuhan dasar yang mendorong motivasi, di antaranya:
1. Kebutuhan
manusia akan perasaan aman (saya terdorong berkomunikasi karena saya tabu
seseorang membutuhkan perlindungan);
2. Kebutuhan
akan rasa percaya terhadap, orang lain (saya terdorong untuk menugaskan Anda
karena percaya Anda mampu menjadi pemimpin);
‘Kebutuhan akan
keterlibatan kita dalam. kelompok (saya terdorong untuk menjadi anggota suatu
kelompok tertentu karena saya percaya kelompok itu dapat melibatkan saya);
1. Kebutuhan
kita untuk menjauhi kecemasan (saya terdorong untuk berkonsultasi dengan Anda
karena saya tahu saya cemas menghadapi ancaman teror);
2. Kebutuhan
kita untuk membagi pengalaman tentang dunia (karena saya terdorong untuk
mengetahui informasi itu dari Anda yang mempunyai Internet);
3. Kebutuhan
kita terhadap faktor pemuas seperti material dan simbolis (saya terdorong untuk
berkomunikasi dengan Anda karena saya tahu Anda dapat membantu meminjami uang);
4. Kebutuhan
kita akan bertahannya konsep diri (saya terdorong bergaul dengan Anda karena
Anda tahu betul saya mempertahankan diri saya).
Patut diingat bahwa
umumnya tingkat kebutuhan manusia itu bervariasi, mungkin sekah kebutuhan Anda
terhadap tiga jenis kebutuhan pertama sangat kuat, lalu kebutuhan Anda atas
menjauhi kecemasan berada pads taraf rata-rata, dan barangkah paling tinggi
pads tiga kebutuhan terakhir, yakni membagi pengalaman, mencari kepuasan, dan
mempertahankan konsep diri. Jadi, setiap orang memiliki kombinasi kebutuhan dan
hal itu menentukan kekuatan motivasi orang untuk berkomunikasi dengan orang
lain.
B. Pengetahuan
Mengapa pengetahuan
mempengaruhi kompetensi komunikasi? Pengetahuan menentukan tingkat kesadaran
atau pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam
rangka komunikasi secara tepat dan efektif. Komponen pengetahuan turut
menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini berkaitan erat dengan tingkat
kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Bayangkan jika Anda
berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal maka yang Anda butuhkan pertama
dan utama adalah pengetahuan, siapakah orang itu? Dari kelompok mana dia
berasal. Jadi, yang Anda butuhkan adalah mengurangi ting¬kat kecemasan, mencari
informasi untuk mengisi pengetahuan Anda tentang orang asing itu. Dalam
pencarian informasi ten-tang orang lain itulah, seorang ahli komunikasi Charles
Berger (1979) mengajarkan kepada kita tiga tipe umum strategi yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan informasi untuk mengu¬rangi tingkat ketidakpastian
itu, yakni strategi pasif, strategi aktif, dan strategi interaktif.
Strategi Pasif
Anda memakai strategi
pasif untuk mengetahui orang lain dengan menjadikan diri Anda berperan sebagai
seorang pengamat. Anda ingin berkenalan dengan seorang pria Jepang bernama Yoko
maka yang perlu diamati adalah bagaimana cara dia berkomunikasi dengan orang lain,
cara dia menyapa dan bercakap-cakap. Apakah cara Yoko itu akan tetap sama kalau
dia berkomunikasi dengan Anda. Bagaimana cara Yoko berbicara seandainya dia
bertemu dengan orang Indonesia lain yang sebangsa dengan Anda? Itulah strategi
pasif.
Strategi Akfif
Strategi aktif dilakukan
untuk mencari tahu pribadi Yoko melalui orang yang mengenal dekat Yoko. Kalau
Anda bertanya tentang Yoko maka informasi tentang dia dapat diperoleh dari
teman-teman dia di masa kecil, teman-teman kuhah, dan teman-teman bisnis.
Strategi ini dapat digunakan, namun perlu berhati-hati karena jika ada
seseorang yang berteman baik dengan Yoko maka orang itu akan bercerita hal-hal
yang baik-baik saja ten-tang Yoko, sebaliknya jika orang itu kurang bersahabat
dengan Yoko maka dia akan bercerita tentang hal-hal yang buruk tentang Yoko.
Langkah untuk mereduksinya adalah membaca literatur tentang bagaimana orang
Jepang bergaul dengan sesama. Inilah strategi aktif.
Strategi Interaktif
Strategi terakhir adalah
strategi interaktif, artinya Anda berhubungan langsung dengan Yoko. Strategi
ini sangat menguntungkan karena Anda dapat menekan bias informasi yang salah
mengenai pribadi Yoko. Siapkan beberapa pertanyaan secukupnya tentang apa yang
Anda ingin ketahui dari Yoko. Inilah strategi interaktif.
C. Ketrampilan
Kemampuan dapat
membimbing kita untuk menghadirkan sebuah perilaku tertentu yang cukup dan
mampu mendukung proses komunikasi secara tepat dan efektif. Tujuan utama dari
ketrampilan sernata-mats untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan.
Menurut Gudykunst, mengurangi atau mengendalikan kecemasan juga merupakan
sebuah ketrampilan yang ditentukan oleh kesadaran dan bersikap toleran terhadap
keadaan yang ambigu atau tak tentu. Untuk mengurangi ketidakpastian maka Anda
sedapat mungkin memiliki tiga ketrampilan, yaitu empati, berperilaku seluwes
mungkin, dan kemampuan untuk mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri. Dua
ketrampilan pertama menjadi syarat cukup untuk membentuk ketrampilan ketiga,
yakni mengurangi tingkat ketidakpastian.
Tahu Diri dan Sadar Diri Dalam Berkomunikasi
Ada pertanyaan pokok
tatkala kita bicara tentang cara¬cara mengembangkan kompetensi komunikasi
antarbudaya. Pertanyaan itu adalah apa yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman
dalam komunikasi antarbudaya? Dalam komunikasi, kesalahpahaman ini terjadi karena
ada gangguan. Konsep gangguan merupakan salah satu bagian penting yang sangat
menentukan keberhasilan komunikasi.
Dalam model Shanon dan
Weaver, gangguan dikonstruksi sebagai hambatan fisik berupa signal (statik,
overload, angin, dan badai). Gangguan yang dibicarakan di sini adalah segala
sesuatu yang memungkinkan terhambatnya komunikasi, jadi ada interupsi
komunikasi. Misalnya, hambatan mental karena perhatian orang tidak terarah,
memburuknya relasi antara mereka yang berkomunikasi, perbedaan bahasa, reaksi-reaksi
emosional, perbedaan interpretasi karena pengetahuan (Jennifer E. Beer, 2000).
Ada pula yang menambahkan dengan perbedaan latar belakang budaya, etnik, ras,
persepsi, sikap, dan stereotip.
Ingatlah bahwa ketika
komunikasi sedang berlangsung, Anda selalu meletakkan orang lain dalam kelompok
budaya mereka, apakah itu suku bangsa, etnik, atau ras tertentu. Anda biasa
bilang, dia orang Jepang yang kelebihan sopan santun, dia orang berkulit hitam
(Negro) yang selalu bertindak kasar, mereka orang Meksiko yang terlalu
parlente, kamu orang Kanada yang sangat mengutamakan formalitas. Inilih salah
satu cara Anda memberikan stereotip kepada orang lain, dan stereotip itu sangat
mempengaruhi komunikasi Anda dengan mereka. Bagaimanapun juga, stereotip
terhadap anggota kelompok budaya Anda tentu akan lebih baik daripada stereotip
Anda terhadap orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang lain. Atau dalam
berkomunikasi, Anda dan saga sering menempatkan orang lain dalam stereotip yang
selalu lebih jelek daripada kelompok kita. Guna mengembangkan kemampuan
berkomunikasi antarbudaya, kita perlu mengubah kesadaran stereotip itu di saat
berkomunikasi. Howel (1982) mengemukakan bahwa kesadaran dan kemampuan
seseorang di saat berkomunikasi dapat membentuk 4 (empat) pola atau proses
pildr. Lihat tabel berikut ini :
1
|
2
|
Conscious
|
Conscious
|
Incompetence
|
Competence
|
Sadar
|
Sadar
|
Tidak
mampu
|
Mampu
|
3
|
4
|
Unconscious
|
Unconscious
|
Imcompetence
|
Competence
|
Tidak
sadar
|
Tidak
sadar
|
Tidak
mampu
|
Mampu
|
Sumber Gudykunst (1991)
Kita berhadapan dengan empat keadaan
sebagai berikut:
1.
Conscious
Incompetence (sadar-tidak mampu) terjadi manakala
kita sadar bahwa kita salah dan tidak mampu menginterpretasi perilaku orang
lain;
2.
Conscious
Competence (sadar-mampu) terjadi manakala kita
sadar bahwa kita mampu menginterpretasi perilaku orang lain;
3.
Inconscious
Incompetence (tidak sadar-tidak mampu) terjadi
manakala kita tidak sadar bahwa kita tidak mampu menginterpretasi perilaku
orang lain;
4.
Unconscious
Competence (tidak sadar – mampu) terjadi manakala
kita tidak sadar bahwa kita mampu menginterpretasi perilaku orang lain.
Konflik antara orang-orang
yang berbeda etnik dan kelompok budaya yang masih sering terjadi seperti
sekarang ini (Bosnia-Serbia, Israel-Arab, dan Protestan-Katolik) kerap kali
ditimbulkan oleh karena ‘keterlibatari kita dalam empat pola di atas. Meskipun
sumber-sumber konflik itu berbeda-beda dan sangat tergantung pads situasi
tertentu, namun semua konflik antarpribadi, antarkelompok selalu bersumber dari
hal yang sama, yaitu ‘polarisasi komunikasi. Yang dimaksudkan dengan
‘polarisasi komunikasi’ adalah kemampuan peserta komunikasi untuk saling
menaruh kepercayaan, namun dalam keadaan ini ada pula peluang di mana para
peserta komunikasi saling menampilkan pandangan yang salah atau keliru terhadap
ketulusan komunikasi. ‘Polarisasi komunikasi’ terjadi ketika seseorang atau
suatu kelompok mencari kepentingan sendiri dan hanya memiliki sedikit
kepedulian terhadap minat orang lain. Hal ini membentuk pengucilan moral di
mans kelompok-kelompok tertentu menerima kenyataan bahwa dirinya merupakan
pihak luar dari suatu nilai moral, aturan hanya demi pertimbangan penerapan
rasa adil.
Gudykunst yakin bahwa
manusia mempunyai tanggung. jawab untuk mencoba menghargai perbedaan-perbedaan
budaya atau etnik dalam sebuah konstruksi tampilan, dan tidak membentuk
polarisasi komunikasi. Untuk menunaikan tanggung jawab itu maka berkomunikasi
efektif harus dicoba dengan cara membentuk pesan sedemikian rupa sehingga orang
lain bisa mengerti apa yang kita maksudkan, apa yang kita butuhkan, atau
menanyakan pesan orang lain pads kita dengan cara sebagaimana yang mereka
maksudkan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui cara memperbaharui komunikasi
dengan orang lain. Dengan demikian, kita harus mengerti kecenderungan yang normal
tatkala kita berkomunikasi dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar