Ruang Lingkup Penelitian Komunikasi Antarbudaya
Didefinisikan Poter dan
Samovar, komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota
suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.
Komunikasi ini bisa terjadi antara orang Jepang dengan orang Indonesia, atau
antara orang Batak dengan orang Jawa, atau dengan orang-orang Jawa sendiri.
Pada dasarnya, setiap kali terjadi perbedaan budaya antara komunikator dan
komunikan, seriap itu terjadi komunikasi antarbudaya.
Karena itu, penelitian
komunikasi antarbudaya memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang
berbeda itu berinteraksi dengan proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen
komunikasi berinteraksi dengan proses budaya.
Komponen-komponen Budaya
Disiplin yang menelaah komponen-komponen budaya adalah
antropologi budaya. Penelitian komunikasi antarbudaya harus banyak merujuk pada
mereka dalam mengidentifikasi dan mendeskripsi komponen budaya.
Setiap budaya mempunyai caranya yang khas dalam memandang
dunia, dalam memahami, menafsirkan, dan menilai dunia. Orang Jerman mungkin
menyebutnya Weitsicht atau Weltanschauung. Para psikolog mungkin
menyebutnya subjective experienceworld
atau frame ofreference. Pandangan
dunia ini dikondisikan oleh lingkungan dan pengalaman historis yang dimiliki
oleh anggota-anggota suatu budaya. Walaupun simplistik, Asante (1980) menyebut
tiga tipe pandangan dunia; Afrosentrik,
Eurosentrik, dan Asiosentrik.
a. Pandangan Afrosentrik melihat semua realitas
berpadu dan bergerak secara agung. Tidak ada pemisahan antara yang material dan
spiritual, yang profane dan yang sacral, bentuk dan substansi.
b. Pandangan Asiosentris melihat materi sebagai
ilusi. Yang real adalah yang datang dari alam spiritual. Dalam konsep filosofis
Asia, spirit harus menguasai materi.
c. Pandangan Eurosentrik melihat materi sajalah yang
real atau nyata. Yang spiritual itu ilusi. Jadi orang Afrika personalistik,
Asia spiritialistik, dan Eropa materialistik.
Menarik bahwa pandangan afrosentrik kedengaran paling baik.
Menurut Asante, pandangan afrosentrik telah jauh mendahului pemikiran sistem
kontemporer. Kebetulan Asante adalah ilmuan Afrika. Orang memang dapat menuding
teorinya ini bersifat “afrosentrik”, tetapi apa pun kelemahannya, Asante
memberikan contoh menganalisis pandangan dunia. Ketika komunikasi intercultural
terjadi, pandangan dunia akan mempengaruhi proses penyandian dan pengalihan
sandi. Pandangan dunia juga dapat dipakai untuk mendiagnosis “noise” yang
terjadi dan menunjukan “terapi”-nya.
Komponen budaya kedua adalah kepercayaan (beliefs). Kepercayaan adalah bagian
penting dari Weltanschauung.
Kepercayaan dapat bersifat sentral, Tuhan itu ada, agama itu perlu, atau
Pancasila itu memiliki kesaktian; atau bersifat peripheral, orang Indonesia itu
halus dan pemaaf, orang Barat itu cerdas dan tabah. Salah satu unsur
kepercayaan yang sangat penting dalam komunikasi intercultural adalah citra
kita dengan komunikasi dari budaya yang lain. Prasangka dan stereotip adalah
contoh-contohnya. Citra mempengaruhi perilaku kita dalam hubungannya dengan
orang yang citranya kita miliki. Citra menentukan desain pesan komunikasi kita
(Boulding, 1956, sebaliknya menceritakan pengaruh pesan terhadap pembentukan
citra). Contoh-contoh pengaruh citra pada komunikasi dapat dilihat pada Brooks
dan Emmert (1976).
Komponen ketiga budaya adalah nilai. Sistem nilai
masyarakat budaya tertentu mempengaruhi cara berpikir anggota-anggotanya.
Banyak cara untuk mengidentifikasi nilai. Sparanger mengemukakan kategori nilai
yang terkenal: nilai ilmiah, nilai religius, nilai ekonomis, nilai estetik,
nilai politis, dan nilai sosial (dengan istilah-istilah yang telah dimodifikasi
sedikit). Kluckhon dan Strodbeck (1961) menunjukkan enam orientasi relasional,
dan orientasi ruang. Pembicaraan tentang bagaimana waktu dinilai berbeda oleh
berbagai budaya menggambarkan interaksi nilai dengan komunikasi antarbudaya.
Komponen keempat budaya adalah sejarah. “Sejarah adalah
catatan peristiwa, fenomena, dan kepribadian yang mengatur pandangan suatu
bangsa tentang anda. Sejarah bukanlah apa yang dikatakan orang tentang anda.
Sejarah adalah apa yang mereka ketahui, mereka saling bertukar pesan dalam komunikasi
interkultural.
Komponen kelima adalah mitologi. Mitologi suatu kelompok
budaya memberikan pada kelompok pemahaman hubungan-hubungan, yakni, hubungan
orang dengan orang, orang dengan kelompok luar, dan orang dengan kekuatan
alami. Pendeknya, tempat kelompok dalam skema alam semesta dicatat dan
diteguhkan. Orang Zulu percaya bahwa mereka adalah orang-orang dari langit; ini
menempatkan mereka dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Orang
Yahudi merasa merekaadalah bangsa pilihan; orang Cina berkata mereka berada di
pusat dunia; orang Yoruba dijadikan bangsa besar oleh Tuhan Oduduwa; dan orang
Asante berkata bahwa tahta emas turun dari langit untuk menegakkan bangsa
Asante. Komunikasi intercultural tidak akan efektif tanpa memperhatikan kepercayaan-kepercayaan
seperti ini.
Ketika mitologi-mitologi yang berkonflik bertemu, salah
paham akan terjadi bila para komunikan tidak berpegang pada aturan yang sama.
Misalnya, ketika orang Eropa, terutama orang-orang Boer, memasuki Afrika
Selatan pada abad XIX, mereka bertemu dengan orang-orang Afrika, terutama
sekali Xhosa, Kurai-kurai, dan Zulu. Dengan mitologi hak milik pribadi, orang
Boer berhadapan dengan orang Afrika yang meyakini hak bersama atas tanah.
Perilaku orang Eropa yang memagari tanah mereka menimbulkan amarah orang
Afrika.
Komponen budaya terakhir yang kita bicarakan di sini
adalah otoritas status. Setiap budaya mempunyai caranya sendiri dalam
mendiskusikan otoritas status. Bersamaan dengan otoritas status ada permainan
peranan yang diatur secara normative. Konflik terjadi bila dua orang bertemu,
dengan otoritas status yang berbeda, melakukan komunikasi intercultural yang
melibatkan permainan peran yang berlainan. Anda tentu masih ingat ihwal
memandang mata pada orang Barat dengan orang Indonesia. Di Indonesia dalam
surat lamaran, pencari kerja menunjukan sikap rendah hati dan tidak mau
(tidaklayak) menonjol-nonjolkan diri. Di Amerika, anda harus mengungkapkan
prestasi-prestasi anda dalam lamaran anda. Terakhir di Amerika. Sifat ambisius sangat
dihargai dan dicari.
Komponen-komponen Komunikasi
Dell
Hymes (1973), ahli antropologi budaya memandang komunikasi sebagai unsur paling
dalam memahami suatu budaya. Ia menyebutkan empat komponen komunikasi: pesan
komunikasi, peserta komunikasi sandi yang digunakan, serta media atau saluran.
Sebagai petunjuk untuk penelitian, kita dapat menggunakan komponen-komponen
komunikasi yang lazim: komunikator, pesan, media, komunikan, dan analisis
konteks pada penelitian komunikasi intercultural.
Marilah
kita lihat hanya pada komunikator dan pesan. Komunikator antarbudaya yang
efektif memerlukan kualifikasi tambahan selain faktor-faktor yang lazim disebut
sebagai kredibilitas sumber. Dedy Mulyana memperinci karakteristik komunikator
antarbudaya. Masih ada variabel-variabel lain yang diduga, dogmatism,
otoritarianisme, etnosentrisme, inferioritas dan sebagainya. Kosmopolitanisme
(frekuensi meninggalkan kampong halamannya), internasionalisme, empati,
menulis, membaca, mendengar dan berpikir.
Mengenai
pesan dalam penelitian komunikasi intercultural, V. Lynn Tyler (1978:363)
mengembangkan analisis pesan yang disebutnya Languetics. Languetics mempelajari lambang-lambang verbal,
non-verbal, paraverbal dan indicator-indikator komunikasi yang berlandaskan
bahasa. Tyler menyebutnya satuan analisis CHUM, culturally hidden units of mean-ings (satuan makna yang
disembunyikan secara cultural). Makna tersembunyi ini dapat menghambat atau
memperlancar komunikasi. Ada dua makna yang menghambat; miscues (Unsur-unsur komunikasi yang bersifat ofensif atau
provokatif) dan missed cues (makna
yang tidak jelas, ambigu, atau tidak dipahami). Ada dua makna yang mempermudah:
cues (satuan makna yang dapat
dipelajari dan digunakan) dan clues (petunjuk
yang tidak begitu tampak, yang mempercepat pengertian).
Bagaimana Penelitian Komunikasi Interkultural Harus Dilakukan
Salah
satu asumsi yang dipegang dalam komunikasi intercultural adalah asal perbedaan.
Selama ini, penelitian komunikasi intercultural melanggar asas perbedaan ini.
Tulsi B. Saral (1979) menyebutkan lima kelemahan penelitian komunikasi
intercultural selama ini:
1.
Dalam budaya barat,
tekanan terlalu banyak pada penggunaan indera visual dan auditif; padahal
bangsa-bangsa berbeda dalam mengindera stimuli. Orang Afrika Barat, misalnya,
kurang begitu mengandalkan indera visual, dan lebih percaya pada indera
auditif.
2. Hampir semua studi komunikasi intercultural
terbatas pada apa yang dapat dipersepsi atau diekspresikan. Ini terjadi karena
cara berpikir Barat yang meterialistik menafikan pengalaman-pengalaman mistis.
3. Penelitian juga bertumpu pada apa yang dianggap
sebagai objective truth. Pandangan dunia
tentang realitas tunggal menguasai asumsi-asumsi penelitian.
4. Para teorisi Barat cenderung memisahkan jiwa
dari tubuh, individu dan lingkungan, kesadaran individu dari kesadaran kosmis.
5.
Kebanyakan studi
komunikasi didasarkan pada model linear yang mekanistis. Model ini sangat tidak
cocok untuk melukiskan komunikasi intercultural yang holistic.
Pemilihan Paradigma: Positivistik atau Naturalistik
Positivisme ditegakkan
pada logiko-empirisme. Sesuatu
dipandang ada bila dapat diukur; bila dapat dihitung dengan bilangan. Kita
hanya dapat meneliti sikap, bila sikap didefinisikan sebagai variabel. Untuk
itu, peneliti mengembangkan skala-skala pengukuran. Untuk komunikasi
antarbudaya, misalnya, kita dapat menggunakan skala world-minded attitudes dari
Sampson dan Smith atau internationalism dari
Free dan Cantrill. Bagaimana mengubah konsep menjadi variabel dijelaskan dalam,
apa yang lazim disebut operasionalisasi.
Konsep sendiri tidak
dapat diukur. Konsep hanya ada pada pikiran kita. Bila beberapa konsep kita
hubungkan sehingga membentuk proposisi, kita melahirkan hipotesis. Hipotesis
dibuat sebelum penelitian. Hipotesis adalah teoria priori. Di sinilah asumsi perbedaan dalam komunikasi antarbudaya tidak
lagi dapat dipertahankan. Ketika peneliti antarbudaya ingin membandingkan
deskripsi orang Amerika tentang diri mereka dan deskripsi bangsa lain tentang
Amerika, ia mempersiapkan lebih dahulu sejumlahkata sifat (“good”, “wealthy”,
“free”, “intelligent”, “aggressive”, dan sebagainya). Lambet dan Klineberg
menemukan bahwa dua kata sifat (“good” dan “wealthy”) ada pada kedua deskripsi
tersebut. Pertanyaan kita yang “nakal” adalah apakah “good” dan “wealthy” itu
dipahami sama oleh kedua kelompok responden (orang Amerika bukan orang
Amerika). Lagi pula, apakah deskripsi di luar kata sifat yang dibentuk tidak
pernah muncul, padahal ada dalam pikiran responden?
Kita dapat menyimpulkan
bahwa dalam positivism, kita mengkonstruksi realita seperti yang kita kehendaki,
bukan seperti dikehendaki responden kita. Kita beranggapan bahwa realitas itu
objektif dan tunggal, peneliti dan responden melihat hal yang sama. Lihatlah
bagaimana kita menyebut pertanyaan kita sebagai “structured questions”. Artinya, kita mengajukan pertanyaan sesuai
dengan struktur realitas dalam benak kita.
Karena apa yang dapat
kita amati itu sangat luas, kita harus memecah-mecahnya. Setiap pecahan kita
amati. Karena realitas itu tunggal maka penilaian kita pada pecahan realitas
itu kita generalisasikan pada keseluruhannya. Hukum-hukum yang mengatur materi
dan energy pada skala kecil, kita anggap berlaku juga pada skala besar. Ketika
Edgar Dale menyebutkan bahwa hasil belajar lewat mata lebih banyak dari hasil
belajar lewat telinga, kita mempercayainya. Penelitian antarbudaya menunjukkan
bahwa bangsa Afrika Barat lebih aiditif ketimbang visual. Dengan demikian,
hasil penelitian Dale di Amerika tidak dapat digeneralisasikan ke Afrika, juga
Indonesia. Boleh jadi kita lebih banyak belajar lewat, kulit. Wober menyebut
berbagai jenis “senso-types”, cara menyerap informasi, yang sangat dipengaruhi
oleh latar belakang budaya.
Secara singkat,
paradigma positivism, yang mengasumsi realitas tunggal, objektif, dan identik,
sangat bertentangan dengan asumsi perbedaan dalam komunikasi antarbudaya.
Adakah paradigma lain sebagai alternative? Sebagai reaksi terhadap positivisme,
muncul paradigma naturalistik. Paradigma ini beranggapan bahwa realitas hasil
konstruksi kita; karena setiap orang mengkonstruksi realitas, kita mengenal
banyak realitas.Pengamat dan yang diamati berhubungan secara interaktif, saling
mempengaruhi. Tujuan penelitian tidak lagi memperoleh pengetahuan nomothetik (hukum-hukum yang dapat
digeneralisasikan), tetapi mencari dan mengembangkan pengetahuan atau diografik (penjelasan tentang
kasus-kasus). Terakhir, penelitian naturalistik selalu terikat dengan nilai-nilai
(value-bound).
Paradigma naturalistik
lebih relevan lagi dengan penelitian komunikasi, yang melihat komunikasi
sebagai proses. David Smith (1972) menyesali penelitian komunikasi delam
komponen-komponen, lalu meneliti setiap komponen. Komunikasi “dipotret” dalam
keadaan statik. Ia menulis:
Mengapa kita
membicarakan proses dalam pengertian abad XX, tetapi tidak banyak yang kita
lakukan untuk menelitinya? Karena kita tidak mau menerima implikasi metodologis
dari gagasan tersebut. Pandangan penelitian kita bertentangan dengan pandangan
kita tentang komunikasi. Luput dari perhatian kita kenyataan bahwa kita secara
serentak menerima pernyataan definisi yang bertentangan. Jadi, pada satu sisi
kita berbicara tentang proses, pada sisi yang lain kita melakukan hal yang
berbeda dari apa yang kita katakan.
Kita tidak akan
melanjutkan argumentasi Smith di sini. Cukuplah dikatakan bahwa paradigma
naturalistik, yang sangat relevan dengan penelitian proses komunikasi, tentu
juga tepat untuk digunakan dalam penelitian proses komunikasi antarbudaya.
Secara spesifik, kita harus mengetahui bagaimana terjadi dalam berbagai budaya.
Menurut Saral (1979: 400), “Agar dapat memahami sifat dan proses komunikasi
intercultural, pertama-tama kita harus memahami sifat dan proses komunikasi
sebagaimana terjadi dalam berbagai budaya.” Secara spesifik, kita harus
mengetahui bagaimana budaya-budaya yang berlainan sistem kepercayaan pokok dan
orientasi fundamental yang berbeda menciptakan konteks yang berbeda untuk
pertukaran dan saling berbagi persepsi, pengetahuan, dan emosi”.
Ching-Ying Cheng
(dikutip dari Saral, 1974:400) membagi konteks ini menjadi dua bagian yang
kelihatan dan yang tidak kelihatan. Yang kelihatan termasuk media, kondisi fisik
komunikasi, jumlah orang, usia orang yang terlibat, dan seterusnya; sedangkan
yang tidak kelihatan termasuk keadaan psikologis, kepercayaan agama,
nilai-nilai budaya, dan pemikiran falsafi berdasarkan rasio, persepsi, dan
rasa. Semua kondisi ini kemudian disebutnya sebagai falsafah budaya (cultural philosophy).
Penelitian konteks
adalah penelitian yang holistik. Positivisme yang melihat pecahan-pecahan
realitas tertentu saja sukar melihat konteks. Penelitian naturalistik, yang
menempatkan prose situ, menjadi satu-satunya alternative. Perlukah penelitian
kuantitatif kita singkirkan sama sekali? Tentu saja tidak. Positivisme, yang
bertitik berat pada kuantifikasi dan verifikasi, masih sangat berguna untuk
penelitian yang menguji teori. Untuk melahirkan teori, penelitian naturalistik
diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar