Minggu, 03 Januari 2016

Penelitian Komunikasi Antar budaya



Ruang Lingkup Penelitian Komunikasi Antarbudaya

Didefinisikan Poter dan Samovar, komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi ini bisa terjadi antara orang Jepang dengan orang Indonesia, atau antara orang Batak dengan orang Jawa, atau dengan orang-orang Jawa sendiri. Pada dasarnya, setiap kali terjadi perbedaan budaya antara komunikator dan komunikan, seriap itu terjadi komunikasi antarbudaya.
Karena itu, penelitian komunikasi antarbudaya memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda itu berinteraksi dengan proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen komunikasi berinteraksi dengan proses budaya.

Komponen-komponen Budaya


            Disiplin yang menelaah komponen-komponen budaya adalah antropologi budaya. Penelitian komunikasi antarbudaya harus banyak merujuk pada mereka dalam mengidentifikasi dan mendeskripsi komponen budaya.
            Setiap budaya mempunyai caranya yang khas dalam memandang dunia, dalam memahami, menafsirkan, dan menilai dunia. Orang Jerman mungkin menyebutnya Weitsicht atau Weltanschauung. Para psikolog mungkin menyebutnya subjective experienceworld atau frame ofreference. Pandangan dunia ini dikondisikan oleh lingkungan dan pengalaman historis yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu budaya. Walaupun simplistik, Asante (1980) menyebut tiga tipe pandangan dunia; Afrosentrik, Eurosentrik, dan Asiosentrik.
a.    Pandangan Afrosentrik melihat semua realitas berpadu dan bergerak secara agung. Tidak ada pemisahan antara yang material dan spiritual, yang profane dan yang sacral, bentuk dan substansi.
b.    Pandangan Asiosentris melihat materi sebagai ilusi. Yang real adalah yang datang dari alam spiritual. Dalam konsep filosofis Asia, spirit harus menguasai materi.
c.    Pandangan Eurosentrik melihat materi sajalah yang real atau nyata. Yang spiritual itu ilusi. Jadi orang Afrika personalistik, Asia spiritialistik, dan Eropa materialistik.
Menarik bahwa pandangan afrosentrik kedengaran paling baik. Menurut Asante, pandangan afrosentrik telah jauh mendahului pemikiran sistem kontemporer. Kebetulan Asante adalah ilmuan Afrika. Orang memang dapat menuding teorinya ini bersifat “afrosentrik”, tetapi apa pun kelemahannya, Asante memberikan contoh menganalisis pandangan dunia. Ketika komunikasi intercultural terjadi, pandangan dunia akan mempengaruhi proses penyandian dan pengalihan sandi. Pandangan dunia juga dapat dipakai untuk mendiagnosis “noise” yang terjadi dan menunjukan “terapi”-nya.
            Komponen budaya kedua adalah kepercayaan (beliefs). Kepercayaan adalah bagian penting dari Weltanschauung. Kepercayaan dapat bersifat sentral, Tuhan itu ada, agama itu perlu, atau Pancasila itu memiliki kesaktian; atau bersifat peripheral, orang Indonesia itu halus dan pemaaf, orang Barat itu cerdas dan tabah. Salah satu unsur kepercayaan yang sangat penting dalam komunikasi intercultural adalah citra kita dengan komunikasi dari budaya yang lain. Prasangka dan stereotip adalah contoh-contohnya. Citra mempengaruhi perilaku kita dalam hubungannya dengan orang yang citranya kita miliki. Citra menentukan desain pesan komunikasi kita (Boulding, 1956, sebaliknya menceritakan pengaruh pesan terhadap pembentukan citra). Contoh-contoh pengaruh citra pada komunikasi dapat dilihat pada Brooks dan Emmert (1976).
            Komponen ketiga budaya adalah nilai. Sistem nilai masyarakat budaya tertentu mempengaruhi cara berpikir anggota-anggotanya. Banyak cara untuk mengidentifikasi nilai. Sparanger mengemukakan kategori nilai yang terkenal: nilai ilmiah, nilai religius, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai politis, dan nilai sosial (dengan istilah-istilah yang telah dimodifikasi sedikit). Kluckhon dan Strodbeck (1961) menunjukkan enam orientasi relasional, dan orientasi ruang. Pembicaraan tentang bagaimana waktu dinilai berbeda oleh berbagai budaya menggambarkan interaksi nilai dengan komunikasi antarbudaya.
            Komponen keempat budaya adalah sejarah. “Sejarah adalah catatan peristiwa, fenomena, dan kepribadian yang mengatur pandangan suatu bangsa tentang anda. Sejarah bukanlah apa yang dikatakan orang tentang anda. Sejarah adalah apa yang mereka ketahui, mereka saling bertukar pesan dalam komunikasi interkultural.


            Komponen kelima adalah mitologi. Mitologi suatu kelompok budaya memberikan pada kelompok pemahaman hubungan-hubungan, yakni, hubungan orang dengan orang, orang dengan kelompok luar, dan orang dengan kekuatan alami. Pendeknya, tempat kelompok dalam skema alam semesta dicatat dan diteguhkan. Orang Zulu percaya bahwa mereka adalah orang-orang dari langit; ini menempatkan mereka dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Orang Yahudi merasa merekaadalah bangsa pilihan; orang Cina berkata mereka berada di pusat dunia; orang Yoruba dijadikan bangsa besar oleh Tuhan Oduduwa; dan orang Asante berkata bahwa tahta emas turun dari langit untuk menegakkan bangsa Asante. Komunikasi intercultural tidak akan efektif tanpa memperhatikan kepercayaan-kepercayaan seperti ini.
            Ketika mitologi-mitologi yang berkonflik bertemu, salah paham akan terjadi bila para komunikan tidak berpegang pada aturan yang sama. Misalnya, ketika orang Eropa, terutama orang-orang Boer, memasuki Afrika Selatan pada abad XIX, mereka bertemu dengan orang-orang Afrika, terutama sekali Xhosa, Kurai-kurai, dan Zulu. Dengan mitologi hak milik pribadi, orang Boer berhadapan dengan orang Afrika yang meyakini hak bersama atas tanah. Perilaku orang Eropa yang memagari tanah mereka menimbulkan amarah orang Afrika.
            Komponen budaya terakhir yang kita bicarakan di sini adalah otoritas status. Setiap budaya mempunyai caranya sendiri dalam mendiskusikan otoritas status. Bersamaan dengan otoritas status ada permainan peranan yang diatur secara normative. Konflik terjadi bila dua orang bertemu, dengan otoritas status yang berbeda, melakukan komunikasi intercultural yang melibatkan permainan peran yang berlainan. Anda tentu masih ingat ihwal memandang mata pada orang Barat dengan orang Indonesia. Di Indonesia dalam surat lamaran, pencari kerja menunjukan sikap rendah hati dan tidak mau (tidaklayak) menonjol-nonjolkan diri. Di Amerika, anda harus mengungkapkan prestasi-prestasi anda dalam lamaran anda. Terakhir di Amerika. Sifat ambisius sangat dihargai dan dicari.






Komponen-komponen Komunikasi

            Dell Hymes (1973), ahli antropologi budaya memandang komunikasi sebagai unsur paling dalam memahami suatu budaya. Ia menyebutkan empat komponen komunikasi: pesan komunikasi, peserta komunikasi sandi yang digunakan, serta media atau saluran. Sebagai petunjuk untuk penelitian, kita dapat menggunakan komponen-komponen komunikasi yang lazim: komunikator, pesan, media, komunikan, dan analisis konteks pada penelitian komunikasi intercultural.
            Marilah kita lihat hanya pada komunikator dan pesan. Komunikator antarbudaya yang efektif memerlukan kualifikasi tambahan selain faktor-faktor yang lazim disebut sebagai kredibilitas sumber. Dedy Mulyana memperinci karakteristik komunikator antarbudaya. Masih ada variabel-variabel lain yang diduga, dogmatism, otoritarianisme, etnosentrisme, inferioritas dan sebagainya. Kosmopolitanisme (frekuensi meninggalkan kampong halamannya), internasionalisme, empati, menulis, membaca, mendengar dan berpikir.
            Mengenai pesan dalam penelitian komunikasi intercultural, V. Lynn Tyler (1978:363) mengembangkan analisis pesan yang disebutnya Languetics. Languetics mempelajari lambang-lambang verbal, non-verbal, paraverbal dan indicator-indikator komunikasi yang berlandaskan bahasa. Tyler menyebutnya satuan analisis CHUM, culturally hidden units of mean-ings (satuan makna yang disembunyikan secara cultural). Makna tersembunyi ini dapat menghambat atau memperlancar komunikasi. Ada dua makna yang menghambat; miscues (Unsur-unsur komunikasi yang bersifat ofensif atau provokatif) dan missed cues (makna yang tidak jelas, ambigu, atau tidak dipahami). Ada dua makna yang mempermudah: cues (satuan makna yang dapat dipelajari dan digunakan) dan clues (petunjuk yang tidak begitu tampak, yang mempercepat pengertian).






Bagaimana Penelitian Komunikasi Interkultural Harus Dilakukan

            Salah satu asumsi yang dipegang dalam komunikasi intercultural adalah asal perbedaan. Selama ini, penelitian komunikasi intercultural melanggar asas perbedaan ini. Tulsi B. Saral (1979) menyebutkan lima kelemahan penelitian komunikasi intercultural selama ini:
1.    Dalam budaya barat, tekanan terlalu banyak pada penggunaan indera visual dan auditif; padahal bangsa-bangsa berbeda dalam mengindera stimuli. Orang Afrika Barat, misalnya, kurang begitu mengandalkan indera visual, dan lebih percaya pada indera auditif.
2.    Hampir semua studi komunikasi intercultural terbatas pada apa yang dapat dipersepsi atau diekspresikan. Ini terjadi karena cara berpikir Barat yang meterialistik menafikan pengalaman-pengalaman mistis.
3.    Penelitian juga bertumpu pada apa yang dianggap sebagai objective truth. Pandangan dunia tentang realitas tunggal menguasai asumsi-asumsi penelitian.
4.    Para teorisi Barat cenderung memisahkan jiwa dari tubuh, individu dan lingkungan, kesadaran individu dari kesadaran kosmis.
5.    Kebanyakan studi komunikasi didasarkan pada model linear yang mekanistis. Model ini sangat tidak cocok untuk melukiskan komunikasi intercultural yang holistic.


Pemilihan Paradigma: Positivistik atau Naturalistik

Positivisme ditegakkan pada logiko-empirisme. Sesuatu dipandang ada bila dapat diukur; bila dapat dihitung dengan bilangan. Kita hanya dapat meneliti sikap, bila sikap didefinisikan sebagai variabel. Untuk itu, peneliti mengembangkan skala-skala pengukuran. Untuk komunikasi antarbudaya, misalnya, kita dapat menggunakan skala world-minded attitudes dari Sampson dan Smith atau internationalism dari Free dan Cantrill. Bagaimana mengubah konsep menjadi variabel dijelaskan dalam, apa yang lazim disebut operasionalisasi.
Konsep sendiri tidak dapat diukur. Konsep hanya ada pada pikiran kita. Bila beberapa konsep kita hubungkan sehingga membentuk proposisi, kita melahirkan hipotesis. Hipotesis dibuat sebelum penelitian. Hipotesis adalah teoria priori. Di sinilah asumsi perbedaan dalam komunikasi antarbudaya tidak lagi dapat dipertahankan. Ketika peneliti antarbudaya ingin membandingkan deskripsi orang Amerika tentang diri mereka dan deskripsi bangsa lain tentang Amerika, ia mempersiapkan lebih dahulu sejumlahkata sifat (“good”, “wealthy”, “free”, “intelligent”, “aggressive”, dan sebagainya). Lambet dan Klineberg menemukan bahwa dua kata sifat (“good” dan “wealthy”) ada pada kedua deskripsi tersebut. Pertanyaan kita yang “nakal” adalah apakah “good” dan “wealthy” itu dipahami sama oleh kedua kelompok responden (orang Amerika bukan orang Amerika). Lagi pula, apakah deskripsi di luar kata sifat yang dibentuk tidak pernah muncul, padahal ada dalam pikiran responden?
Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam positivism, kita mengkonstruksi realita seperti yang kita kehendaki, bukan seperti dikehendaki responden kita. Kita beranggapan bahwa realitas itu objektif dan tunggal, peneliti dan responden melihat hal yang sama. Lihatlah bagaimana kita menyebut pertanyaan kita sebagai “structured questions”. Artinya, kita mengajukan pertanyaan sesuai dengan struktur realitas dalam benak kita.
Karena apa yang dapat kita amati itu sangat luas, kita harus memecah-mecahnya. Setiap pecahan kita amati. Karena realitas itu tunggal maka penilaian kita pada pecahan realitas itu kita generalisasikan pada keseluruhannya. Hukum-hukum yang mengatur materi dan energy pada skala kecil, kita anggap berlaku juga pada skala besar. Ketika Edgar Dale menyebutkan bahwa hasil belajar lewat mata lebih banyak dari hasil belajar lewat telinga, kita mempercayainya. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa bangsa Afrika Barat lebih aiditif ketimbang visual. Dengan demikian, hasil penelitian Dale di Amerika tidak dapat digeneralisasikan ke Afrika, juga Indonesia. Boleh jadi kita lebih banyak belajar lewat, kulit. Wober menyebut berbagai jenis “senso-types”, cara menyerap informasi, yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya.
Secara singkat, paradigma positivism, yang mengasumsi realitas tunggal, objektif, dan identik, sangat bertentangan dengan asumsi perbedaan dalam komunikasi antarbudaya. Adakah paradigma lain sebagai alternative? Sebagai reaksi terhadap positivisme, muncul paradigma naturalistik. Paradigma ini beranggapan bahwa realitas hasil konstruksi kita; karena setiap orang mengkonstruksi realitas, kita mengenal banyak realitas.Pengamat dan yang diamati berhubungan secara interaktif, saling mempengaruhi. Tujuan penelitian tidak lagi memperoleh pengetahuan nomothetik (hukum-hukum yang dapat digeneralisasikan), tetapi mencari dan mengembangkan pengetahuan atau diografik (penjelasan tentang kasus-kasus). Terakhir, penelitian naturalistik selalu terikat dengan nilai-nilai (value-bound).
Paradigma naturalistik lebih relevan lagi dengan penelitian komunikasi, yang melihat komunikasi sebagai proses. David Smith (1972) menyesali penelitian komunikasi delam komponen-komponen, lalu meneliti setiap komponen. Komunikasi “dipotret” dalam keadaan statik. Ia menulis:
Mengapa kita membicarakan proses dalam pengertian abad XX, tetapi tidak banyak yang kita lakukan untuk menelitinya? Karena kita tidak mau menerima implikasi metodologis dari gagasan tersebut. Pandangan penelitian kita bertentangan dengan pandangan kita tentang komunikasi. Luput dari perhatian kita kenyataan bahwa kita secara serentak menerima pernyataan definisi yang bertentangan. Jadi, pada satu sisi kita berbicara tentang proses, pada sisi yang lain kita melakukan hal yang berbeda dari apa yang kita katakan.
Kita tidak akan melanjutkan argumentasi Smith di sini. Cukuplah dikatakan bahwa paradigma naturalistik, yang sangat relevan dengan penelitian proses komunikasi, tentu juga tepat untuk digunakan dalam penelitian proses komunikasi antarbudaya. Secara spesifik, kita harus mengetahui bagaimana terjadi dalam berbagai budaya. Menurut Saral (1979: 400), “Agar dapat memahami sifat dan proses komunikasi intercultural, pertama-tama kita harus memahami sifat dan proses komunikasi sebagaimana terjadi dalam berbagai budaya.” Secara spesifik, kita harus mengetahui bagaimana budaya-budaya yang berlainan sistem kepercayaan pokok dan orientasi fundamental yang berbeda menciptakan konteks yang berbeda untuk pertukaran dan saling berbagi persepsi, pengetahuan, dan emosi”.
Ching-Ying Cheng (dikutip dari Saral, 1974:400) membagi konteks ini menjadi dua bagian yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Yang kelihatan termasuk media, kondisi fisik komunikasi, jumlah orang, usia orang yang terlibat, dan seterusnya; sedangkan yang tidak kelihatan termasuk keadaan psikologis, kepercayaan agama, nilai-nilai budaya, dan pemikiran falsafi berdasarkan rasio, persepsi, dan rasa. Semua kondisi ini kemudian disebutnya sebagai falsafah budaya (cultural philosophy).
Penelitian konteks adalah penelitian yang holistik. Positivisme yang melihat pecahan-pecahan realitas tertentu saja sukar melihat konteks. Penelitian naturalistik, yang menempatkan prose situ, menjadi satu-satunya alternative. Perlukah penelitian kuantitatif kita singkirkan sama sekali? Tentu saja tidak. Positivisme, yang bertitik berat pada kuantifikasi dan verifikasi, masih sangat berguna untuk penelitian yang menguji teori. Untuk melahirkan teori, penelitian naturalistik diperlukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar