Rabu, 28 Oktober 2015

Teori komunikasi : Jarum hipodermik

Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang homogen dan mudah dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan pada mereka akan selalu diterima. Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komunikasi yang dikenal dengan teori jarum suntik (Hypodermic Needle Theory). Teori ini menganggap media massa memiliki kemampuan penuh dalam mempengaruhi seseorang. Media massa sangat perkasa dengan efek yang langsung pada masyarakat. Khalayak dianggap pasif  terhadap pesan media yang disampaikan. Teori ini dikenal juga dengan teori peluru, bila komunikator dalam hal ini media massa menembakan peluru yakni pesan kepada khalayak, dengan mudah khalayak menerima pesan yang disampaikan media. Teori ini makin powerfull ketika siaran radio Orson Welles (1938) menyiarkan tentang invansi makhluk dari planet mars menyebabkan ribuan orang di Amerika Serikat panik.

Teori ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Teori ini mengasumsikan bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari audience.

Teori ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic needle (teori jarum suntik), Bullet Theory (teori peluru) transmition belt theory (teori sabuk transmisi). Dari beberapa istilah lain dari teori ini dapat kita tarik satu makna , yakni penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan.



BAB II PEMBAHASAN


A.    Sejarah


Teori Peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula Hypodermic Needle Theory (Teori Jarum Hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul The Invansion from Mars (Effendy.1993:264-265).

Istilah model hypodermic neadle timbul pada periode ketika komunikasi massa digunakan secara meluas, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat, yaitu sekitar1930-an dan mencapai puncaknya menjelang Perang Dunia II. Pada periode ini kehadiran media massa baik media cetak maupun media elektronik mendatangkan perubahan-perubahan besar di berbagai masyarakat yang terjangkau oleh allpowerfull media massa. Penggunaan media massa secara luas untuk keperluan komunikasi melahirkan gejala-gejala mass society. Individu-individu tampak seperti distandarisasikan, diotomatisasikan dan kurang keterikatannya di dalam hubungannya antarpribadi (interpersonal relations). Terpaan media massa (mass media exposure) tampak di dalam kecenderungan adanya homogenitas cara-cara berpakaian, pola-pola pembicaraan, nilai-nilai baru yang timbul sebagai akibat terpaan media massa, serta timbulnya produksi masa yang cenderung menunjukan suatu kebudayaan masa.

Pengaruh media sebagai hypodermic injection (jarum suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I dan Perang Dunia II.



Media massa memanipulasi kekuatan besar. Bukti-bukti mengenai manipulasi kekuatan besar dari media massa ditunjukkan oleh peristiwa bersejarah sebagai berikut :

a)    Peranan surat-surat kabar Amerika yang berhasil menciptakan pendapat umum positif ketika perang dengan Spanyol pada 1898. Surat-surat kabar itu mampu membuat penduduk Amerika membedakan siapa kawan dan siapa lawan.

b)    Berhasilnya propaganda Goebbels dalam periode Perang Dunia II.

c)    Pengaruh Madison Avenue atas perilaku konsumen dan dalam pemungutan suara.


B.    Pengertian

Istilah model jarum hipodermik dalam komunikasi massa diartikan sebagai media massa yang dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah,dan segera. Efek yang segera dan langsung itu sejalan dengan pengertian Stimulus-Respon yang mulai dikenal sejak penelitian dalam psikologi tahun 1930-an.

Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow), yaitu media massa langsung kepada khalayak sebagai mass audiance. Model ini mengasumsikan media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang amat kuat atas mass audiance. Media massa ini sepadan dengan teori Stimulus-Response (S-R) yang mekanistis dan sering digunakan pada penelitian psikologi antara tahun 1930 dan 1940. Teori S-R mengajarkan, setiap stimulus akan menghasilkan respons secara spontan dan otomatis seperti gerak refleks. Seperti bila tangan kita terkena percikan api (S) maka secara spontan, otomatis dan reflektif kita akan menyentakkan tangan kita (R) sebagai tanggapan yang berupa gerakkan menghindar. Tanggapan di dalam contoh tersebut sangat mekanistis dan otomatis, tanpa menunggu perintah dari otak.

Teori peluru atau jarum hipodermik mengansumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini mengansumsikan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif).
Jarum Hipodermik Variabel Komunikator
• Kredibilitas, Kredibilitas terdiri dari 2 unsur yakni: keahlian dan kejujuran.
• Daya Tarik, diukur dengan kesamaan, familiaritas, dan kesukaan.
• Kekuasaan, dioperasionalisasikan dengan tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator untuk menghukum atau memberi ganjaran.

Variabel Pesan
• Struktur, ditunjukkan dengan pola penyimpulan, pola urutan argumentasi, pola objektivitas.
• Gaya, menunjukkan variasi linguistik dalam penyampaian pesan
• Appeals, mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung pesan
Variabel Antara: ditunjukkan dengan perhatian dan penerimaan serta penerimaan oleh komunikan.

Variabel Efek:
• Kognitif: Setelah mendapatkan pesan dari komunikator, komunikan akan mengalami perubahan pendapat, penambahan pengetahuan, perubahan kepercayaan.
• Afektif: Komunikan akan mengalami perubahan sikap, perasaan, dan kesukaan.
• Behavioral: Komunikan akan mengalami perubahan prilaku atau kecenderungan prilaku.
C.   Menurut Para Ahli

Menurut Elihu Katz, model ini berasumsi :

1.    Media massa sangat ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak berdaya.

2.    Khalayak yang tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling berhubungan.

Model Hypodermic Needle tidak melihat adanya variable-variable antara yang bekerja diantara permulaan stimulus dan respons akhir yang diberikan oleh  mass audiance. Elihu Katz dalam bukunya,  “The Diffusion of New Ideas and Practices” menunjukkan aspek-aspek yang menarik dari model hypodermic needle ini, yaitu

1.    Media massa memiliki kekuatan yang luar biasa, sanggup menginjeksikan secara mendalam ide-ide ke dalam benak orang yang tidak berdaya.

2.    Mass audiance dianggap seperti atom-atom yang terpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan dan hanya berhubungan dengan media massa. Kalau individu-individu mass audienceberpendapat sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh pesan-pesan yang sama dari suatu media (Schramm, 1963)Model Hypodermic Needle cenderung sangat melebihkan peranan komunikasi massa dengan media massanya. Para ilmuwan sosial mulai berminat terhadap gejala-gejala tersebut dan berusaha memperoleh bukti-bukti yang valid melalui penelitian-penelitian ilmiah.

Teori Peluru yang dikemukakan Schramm pada tahun 1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu tenyata tidak pasif. Pernyataan Schramm ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer.

Lazarfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab, karena kadang-kadang peluru itu tidak menembus. Ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Sering kali pula sasaran senang untuk ditembak. Sedangkan Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang diinginkannya dari media massa, mereka melakukan interpretasi sesuai dengan kebutuhan mereka.

Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan oleh para pakar komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori ini. Hasil dari serangkaian penelitian itu menghasilkan suatu model lain tentang proses komunikasi massa, sekaligus menumbangkan model Hipodermic Needle.Kemudian muncullah teori limited effect model (model efek terbatas).
 Teori Peluru ini kemudian dicabut kembali pada tahun 1970-an, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu tenyata tidak pasif. Karena terkadang jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak akan jatuh terjerembab, kadang-kadang peluru itu tidak menembus. Ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Sering kali pula sasaran senang untuk ditembak. Ketidak pasifan khalayak pun bisa dilihat dari aktifnya mereka mencari sesuatu yang diinginkannya dari media massa, dan melakukan interpretasi sesuai kebutuhan mereka. Mereka pun berhak memilih channel radio,tv atau media lainnya yang pas untuk dikonsumsi. Namun pada dasarnya teori jarum suntik ini akan tetap berlaku bagi publik. Karena meskipun publik bisa memilah-milah informasi mana yang layak dikonsumsi tetap saja mereka hanya sebagai korban yang menikmati siaran yang disuguhkan oleh media tersebut. Maka secara tidak disadari suguhan dari media yang biasa kita lihat dan kita dengar itu akan mempengaruhi kita secara perlahan. Seperti stasiun TV yang menyiarkan program berita. Jika seseorang sudah memilih channelnya untuk program berita maka biasanya orang tersebut akan mempercayai apa berita yang disampaikna oleh stasiun TV tersebut. Jadi, publik sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakkan oleh media komunikasi seperti seseorang yang dibius menggunaka jarum suntik, maka mereka tidak akan bisa menolak biusan itu sama sekali jika sudah tersuntik.


Proses dan Komponen Komunikasi


Proses dan Komponen Komunikasi
Proses Komunikasi Massa
            Proses merupakan suatu peristiwa  yang berlangsung secara kontinyu. Dalam operasionalnya proses memerlukan berbagai komponen yaitu bagian-bagian terpenting  dan mutlak harus ada pada suatu keseluruhan atau kesatuan. Schram mengatakan bahwa untuk berlangsungnya suatu kegiatan komunikasi minimal diperlukan tiga komponen yaitu sumber, pesan dan audiens. Sementara itu Harold D. Laswell mengatakan bahwa untuk terjadinya proses komunikasi setidaknya diperlukan lima komponen, yaitu;



a.    Who sebagai komunikator yaitu orang yang menyampaikan pesan dalam proses komunikasi massa (perorangan atau lembaga)
b.    Say What atau Pesan yaitu pernyataan berupa ide, informasi, opini atau sikap.
c.    In Which Channel atau saluran berupa media komunikasi massa yang digunakan untuk menyebar/ mengirim pesan komunikasi massa
d.     To whom atau audiens sebagai sasaran komunikasi
e.    With what effect atau hasil dari kegiatan komunikasi massa. Efek dapat diketahui dari feedback yang diberikan oleh komunikator.

Komponen Komunikasi
Komponen komunikasi massa pada dasarnya  sama dengan  komponen komunikasi secara umum. Komponen komunikasi secara umum diungkapkan oleh Harold D. Lasswell dalam definisi yang diungkapkannya; who-says what in which channel-to whom-with what effect. Komponen komunikasi massa pun secara tersurat diungkapkan oleh De Vito ketika mendefinisikan komunikasi komunikasi massa  dapat didefinisikan dengan memusatkan perhatian pada lima variable yang terkandung dalam setiap tindak komunikasi dan memperlihatkan bagaimana variable-variabel ini bekerja pada media massa. Sumber atau komunikator massa adalah suatu organisasi kompleks yang mengeluarkan biaya besar untuk menyusun dan mengirimkan pesan. Audiens  adalah khalayak dalam jumlah yang tidak terduga atau sangat banyak. Pesanmerupakan milik umum yang disampaikan secara cepat. Proses antara dua arah (melalui seleksi) dan satu arah. Konteks yaitu bahwa  komunikasi massa berlangsung dalam suatu konteks social, terjadi hubungan transaksional antara media dan  dan masyarakat. (Devito, 1997: 505).
Menurut Nurudin (2007), perbedaaan komunikasi massa  dengan komunikasi  pada umumnya  lebih berdasarkan pada jumlah pesan berlipat-lipat yang sampai pada penerima. Kadang mereka menerimanya secara serentak, langsung sebagaimana yang dilakukan oleh televise, di waktu yang lain mereka menerimanya secara individu seperti dalam film atau bahkan puluhan abad seperti dalam Al-Qur’an atau buku. Namun secara substansi perbedaannya terletak pada penggunaan media atau saluran.
Membahas komponen-komponen komunikasi massa ada baiknya kita merujuk kembali definisi komunikasi massa yang dikemukakan oleh George Gerbner seperti dikutif oleh Jalaluddin Rakhmat (1988:188),”Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta  paling luas dimiliki orang  dalam masyarakat industry. Sementara Hiebert, Ungurait, dan Bohn mengemukakan bahwa komponen-komponen komunikasi massa meliputi adalah komunikator, kode dan isi, gatekeeper, media, regulator, filters, audience dan feedback.
Merujuk pada beberapa definisi di atas setidaknya terdapat beberapa komponen untuk komunikasi massa yaitu; komunikator, isi, audience, umpan balik, gangguan, (saluran dan semantik), gatekeeper, pengatur, filter, dan efek. Komponen komunikasi massa yang diungkapkan oleh para ilmuwan komunikasi secara substantif memiliki kesamaan, hanya terdapat komponen tambahan yang tidak terlalu signifikan dalam proses komunikasi massa. Di samping itu untuk menghindari kebingungan istilah, komponen komunikasi kadang diistilahkan secara berbeda misalnya untuk komunikator diistilahkan juga sebagai sumber (source), encoder. Beberapa istilah untuk komunikator tersebut kadang penggunaannya dapat secara terpisah atau untuk menyebutkan hal yang sama yaitu komunikator. Istilah penerima pesan diistilahkan juga sebagai audience, komunikan, pendengar, pemirsa, penonton atau pembaca. Sementara saluran dapat berupa televisi, radio, surat kabar, buku, film, kaset/ CD, atau internet. Isi merupakan pesan.
1.    Komunikator.
Komunikator  dalam komunikasi massa meliputi jaringan yang terdiri dari berbagai komponen di dalamnya; Pimpinan redaksi, Redaktur pelaksana, editor, penulis, pembaca berita, copywriter. Komunikator dalam hal ini tergantung dari institusi media apakah elektronik atau cetak. Dengan demikian komunikator dalam komunikasi massa bukan individu tetapi sekumpulan orang yang bekerja sama satu sama lain. Kumpulan individu tersebut dapat berupa organisasi, lembaga, institusi atau jaringan media. Apa yang dilakukan oleh komunikator  dalam komunikasi massa mengatasnamakan lembaga bukan atas nama individu.
Komunikator dalam komunikasi massa  memiliki karakteristik sebagai berikut seperti dinyatakan oleh Hiebert, Ungurait dan Bohn (HUB); a. daya saing (competitivenes); b. ukuran dan kompleksitas (size & complexity); c. Industrialisasi (industrialization); d. spesialisasi (specialization); dan  e. perwakilan (representation); f.costliness


2.    Isi dan kode
Setiap institusi media memiliki kekhasan masing-masing dalam mengelola isi medianya. Isi media yang disajikan menyangkut individu dan kelompok social. Bagi Hiebert, isi media setidak-tidaknya bisa dibagi ke dalam lima kategori; a. berita dan informasi; b. analisis dan interpretasi; c. pendidikan dan sosialisasi; d. hubungan masyarakat dan persuasi; e. iklan dan bentuk penjualan lain dan f. hiburan.
Sementara kode berkaitan dengan symbol yang digunakan untuk menyampaikan isi media tersebut (pesan komunikasi). Kode dapat berupa tulisan, kata-kata lisan, foto, music, film, gambar karikatur.

3.    Komunikan/ audiens
Komunikan dalam komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonton televise, ribuan pembaca buku, majalah, Koran atau jurnal ilmiah. Mereka berbeda satu sama lain. Menurut Hiebert audience dalam komunikasi massa memiliki karakteristik;
a.    Audiens cenderung berisi individu-individu yang condong untuk berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan social di antara mereka. Individu-individu tersebut memilih produk media yang mereka gunakan berdasarkan seleksi kesadaran.
b.    Audiens cenderung besar yaitu bahwa audiens tersebar ke berbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa. Meskipun begitu, ukuran luas ini sifatnya bisa jadi relative.
c.    Audiens cenderung heterogen. Mereka berasal dari kategori lapisan dan kategori social. Beberapa media memiliki sasaran tetapi heterogenitasnya tetap ada.
d.    Audiens cenderung anonym, yakni tidak dikenal atau satu sama lain tidak saling mengenal.
e.    Audiens secara fisik dipisahkan dari komunikator.
f.      Audiens cenderung tersebar, baik dalam konteks ruang maupun waktu.

4.    Umpan Balik
Komunikasi dalam arti interaksi ataupun transaki mensyaratkan adanya umpan balik. Proses komunikasi belum lengkap apabila audiens tidak memberikan  respons atau tanggapan kepada komunikator terhadap pesan yang disampaikannya. Dalam komunikasi massa, respon tidak terlihat secara langsung oleh komunikator. Agar responnya dapat sampai, audiens harus memberikan feedback  atau umpan balik.
Ada dua umpan balik dalam komunikasi massa yakni umpan balik langsung (immediate feedback) dan tidak langsung (delayed feedback). Umpan balik langsung terjadi jika komunikator dan komunikan berhadapan langsung atau ada kemungkinan bisa berbicara langsung seperti dalam komunikasi antarpersona. Dalam komunikasi massa umpan balik biasanya tertunda/ tidak langsung (delayed). Umpan balik tidak langsung ini misalnya ketika seorang audience mengirimkan surat pembaca atau menelepon redaksi.
Selain feedback langsung dan tidak langsung, umpan balik dibedakan pula atasinternal feedback dan external feedback. Internal feed terjadi misalnya ketika seorang komunikator sadar atas kesalahan yang telah dilakukannya tanpa harus menunggu respon dari audience. Sedangkan external feedback diterima dari audiens yang memiliki karakteristik; representative, indirect, delayed, cumulative, institutionalized.  (Ardianto, 2007;48).

5.    Gangguan.
Ganggunan komunikasi selalu ada. Secara garis besar dibagi menjadi dua bentuk yakni gangguan saluran dan gangguan semantic. Gangguan saluran dalam media cetak dapat berupa kesalahan cetak, kata yang hilang, atau paragraf yang dihilangkan. Dalam media eletronik dapat berupa suara yang terputus, gambar yang tidak jelas, gangguan sinyal dan lain sebagainya. Sedangkan gangguan semantic dapat berupa gangguan yang berkaitan dengan bahasa. Gangguan semantic bisa diakibatkan oleh komunikator atau pun komunikan itu sendiri. Gangguan semantic berkaitan dengan makna yang diinterpretasikan oleh audiens.
6.    Gatekeeper
Gatekeeper dapat diistilahkan sebagai individu-individu atau sekelompok orang yang memantau arus informasi dalam sebuah saluran komunikasi massa. (John R. Bittner, 1996). Ia merupakan orang yang berperan penting dalam media massa seperti reporter, editor (Nuruddin, 2007:125), redaktur, direktur. Fungsi gatekeeper adalah mengevaluasi  isi media agar sesuai dengan kebutuhan khalayaknya.
7.    Regulator
Institusi media memiliki kepentingan yang saling terkait dengan pihak lain. Ia sekaligus sebagai mitra dan sumber berita, dapat berupa masyarakat luas atau institusi baik swasta atau pemerintah. Peran Regulator  hampir sama dengan gatekeeper, namun regulator bisa bekerja di luar institusi media yang menghasilkan berita. Regulator bisa menghentikan aliran berita dan menghapus suatu informasi, tapi ia tidak dapat menambah atau memulai informasi. Bentuk regulator seperti halnya sensor.
Ada lima macam regulator pada proses komunikasi massa (Ardianto, 2007:39), yaitu;
a.    Pemerintah adalah regulator utama, meskipun undang-undang menjamin kebebasan pers.
b.    Sumber informasi juga bisa mempengaruhi arus berita, dengan cara menahan yang satu dan memberikan yang lain.
c.    Pengiklan
d.    Organisasi profesi.
e.    Konsumen komunikasi massa pun dapat menjadi regulator dengan cara mengontrol pembelian seperti halnya kasus playboy.
f.      Selain 5 point yang disebutkan diatas, satu hal yang memiliki fungsi regulator adalah Undang-undang Pers berserta undang-undang turunannya sebagai produk dari berbagai komponen yang berkepentingan.
8.    Filter
Filter merupakan kerangka pikir audiens yang kemudian digunakan untuk menyaring pesan yang diterimanya. Filter dalam komunikasi masa dapat berupa norma budaya, psikologi dan secara fisik.
           
Walaupun pada dasarnya memiliki substansi yang sama dalam komunikasi secara umum, komponen komunikasi massa memiliki jaringan yang cukup kompleks karena berkaitan dengan institusi interna eksternal beserta sejumlah kepentingan juga berkaitan kepentingan khalayak.

Hambatan Komunikasi Massa


A.HAMBATAN KOMUNIKASI MASSA
John Vivian (1991) mengatakan bahwa jika pembicara menyampaikan pesan dengan suara seperti menggerutu, maka efektivitas pesannya akan terganggu. Ketidakjelasan ucapan dan hambatan lain dalam proses komunikasi sebelum pesan mencapai audience dinamakan gangguan (noisel).  Dalam komunikasi massa, yang didasarkan pada peralatan mekanik dan elektronik yang kompleks, peluang terjadinya gangguan adalah tak terbatas karena ada banyak hal yang bisa berjalan secara keliru. Gangguan terjadi dalam tiga bentuk gangguan semantik, gangguan saluran, dan gangguan lingkungan.
Gangguan semantik. Komunikasi massa itu sendiri dapat mengganggu kesuksesan pesannya jika disusun dengan buruk. Ini dinamakan gangguan semantik karena susunan kata yang buruk adalah salah satu contohnya. Bicara seperti orang ngedumeljugatermasuk penghambat komunikasi.
Gangguan saluran. Ketika anda sedang mendengar siaran radio AM tapi suaranya terputus-putus, berarti anda sedang mengalamigangguan saluran (channel noisel). Bentuk gangguan saluran lainnya adalah tinta yang  blobor di halaman majalah, dan mikrofon yang tidak berbunyi saat penyiar membacakan berita.
Gangguan lingkungan. Intruksi yang terjadi di tempat penerimaan disebut gangguan lingkungan.Misalnya, saat Anda membaca tiba-tiba bel pintu rumah berdering, atau tiba-tiba anda mendengar suara anak menjerit-jerit, yang mengganggu proses decoding yang sedang anda lakukan dalam membaca.
Komunikator massa berusaha keras untuk menjaga diri dari gangguan yang menghambat pesan mereka. Misalnya dalam encoding, penulis naskah siaran menghindari suara “S” sebanyak mungkin karena suara itu dapat terdengar mendesis terus-menerus jika pendengaranya tidak menerima sinyal dengan baik. Karena kata dapat secara tidak sengaja terlupakan dalam proses pengetikan, banyak reporter koran menulis keputusan “innocent” (bebas, tidak berdosa) ketimbang “not guilty”(tak bersalah ). Akan jadi persoalan serius jika kata “not” tidak ikut diketikan.
Untuk meminimalkan gangguan, teknisi berusaha menjaga peralatannya selalu dalam kondisi prima. Meski begitu, selalu saja ada yang tidak beres. Komunikasi massa juga tidak bisa mengontrol gangguan yang mempengaruhi individu audience merekaseperti suara sirene pemadam kebakaran yang sedang lewat, audience tiba-tiba kena sakit kepala, atau gangguan dari dapur. Ekspresi atau pernyataan yang jelas, entah itu dalam bentuk tulisan di majalah atau pelafalan suara yang jelas di radio, dapat meminimalkan gangguan, tapi kebanyakan gangguan berada di luar kontrol komunikator.
Repetisi adalah obat terampuh bagi komunikator massa untuk melawan gangguan. Jika pesan tidak sampai pada pengiriman pertama, maka pesan diulang. Jarang ada iklan yang hanya sekali tayang. Penyiar radio mengulang berita utama yang sama setiap jam, meski mereka memperbarui naskahnya agar tidak menjemukan bagi orang yang sudah pernah mendengarnya.
B.HAMBATAN PSIKOLOGIS
Dari pendapat Elvinaro (2009) mengatakan bahwa hambatan komunikasi massa yang termasuk dalam hambatan psikologis adalah kepentingan (interest), prasangka (prejudice), stereotip (stereotype), dan motivasi (motivation). Disebut sebagai hambatan psikologis karena hambatan-hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia.
1.      Perbedaan Kepentingan (Interest)
Kepentingan atau interest akan membuat sesorang selektif dalam menanggapi atau menghayati pesan. orang hanya akan memperhatikan perangsang (stimulus) yang ada hubungannya dengan kepentingannya. Effendy mengemukakan secara gamblang bahwa apabila kita tersesat dalam hutan dan beberapa hari tak menemui makanan sedikitpun, maka kita akan lebih memperhatikan perangsang-perangsang yang mungkin dapat dimakan daripada yang lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari pemirsa televisi yang memunyai latar belakang pendidikan ekonomi atau para pelaku bisninis cenderung akan menyukai acara berita peputar ekonomi atau acara talk show ekonomi. Mereka akan selalu menanti penayangan acara tersebut, dan secara khusus mengikutinya. Sementara pemirsa televisi lainya yang merasa tidak memperoleh manfaat dari berita ekonomi itu, akan meninggalkan pesawat televisi (tidak menontonnya) bahkan mungkin mematikannya.
Kondisi komunikan seperti ini perlu dipahami oleh seorang komunikator dalam komunikasi massa. Masalahnya, apabila komunikator ingin agar pesannya dapat diterima dan dianggap penting oleh sebanyak-banyaknya komunikan, maka komunikator harus berusah menyusun pesannya sedemikian rupa agar menimbulkan ketertarikan dari komunikan yang bukan sasarannnya. Pada akhirnya pesan yang ditujukan untuk khalayak sasaran (komunikan) tertentu tidak dianggap sebagai pesan yang mubazir’ oleh komunikan lainnya.
2.      Prasangka (Prejudice)
Menurut Sears, prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai prasangka, maka sebaiknya kita bahas terlebih dahulu secara singkat pengertian persepsi.
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dengan menafsirkan pesan. Faktor personal atau fungsional itu antara lain adalah kebutuhan (need), pengalaman masa lalu, peran dan setatus. Jadi yang menemukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus, tetapi karekteristik orang yang memberikan respons pada stimulus itu.Faktor situasional atau struktural yang menentukan persepsi berasal semata-mata dari sifat stimulussecara fisik. Menurut Kohler, jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Untuk memahami seseorang, kita harus melihatnya dalam konteks, dalam lingkungan dan dalam masalah yang dihadapinya.
Pembahasan tentang persepsi sekalipun singkat telah memberikan gambaran yang jelas, bahwa persepsi memang dapat menentukan sikap orang terhadap stimulus (benda, manusia, peristiwa) yang dihadapinya. Apabila seseorang atau sekelompok orang dalam hidupnya pernah memiliki pengalaman yang buruk dengan seseorang atau sekelompok orang lainya, maka pada dirinya akan timbul suatu persepsi yang kurang baik. Persepsi yang kurang baik ini akhirnya menjadi suatu prasangka yang menetap.Berkenaan dengan kegiatan komunikasi, prasangka merupakan salah satu rintangan atu hambatan bagi tercapainya suatu tujuan kemunikan yang memunyai prasangka, sebelum pesan disampaikan sudah bersikap curiga dan menentang komunikator.Untuk mengatasi hambatan komunikasi yang berupa prasangka yang ada pada komunikan, maka komunikator yang akan  menyampaikan pesan melalui media massa sebaiknya komunikator yang netral, dalam arti ia bukan orang yang kontroversial.
3.      Stereotip (Stereotype)
Prasangka sosial bergandengan dengan stereotip yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak piribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain itu sudah terbentuk pada orang yang berprasangka, meski sesungguhnya orang yang berprasangka itu belum bergaul dengan orang yang diprasangkainya. Jadi, stereotip itu terbentuk  pada dirinya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif. Stereotip yang sering kita dengar sehari-hari adalah bahwa orang Batak itu berwatak keras, orang Jawa itu lembut, dan stereotip lainya yang ditimpakan pada etnik-etnik di Indonesia. Seandainya dalam proses komunikasi massa ada komunikan yang memiliki stereotip tertentu pada komunikatornya, maka dapat dipastikan pesan apa pun tidak akan bisa diterima oleh komunikan.
4.      Motivasi (Motivation)
Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif tertentu. Motif  merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu. Selanjutnya Gerungan menjelaskan, dalam mempelajari tingkah laku manusia pada umumnya, kita harus mengetahui apa yang dilakukanya, bagaimana ia melakukan dan mengapa ia melakukan itu. Dengan kata lain, kita sebaiknya mengetahui know what, know how, dan know why.
Seperti kita ketahui, keinginan dan kebutuhan masing-masing individu berbeda dari waktu kewaktu dan dari tempat ke tempat, sehingga motif juga berbeda-beda. Motif seseorang bisa bersifat tunggal, bisa juga bergabung/ganda. Misalnya, motif seseorang menunton acara “Seputar Indonesia” yang disiarkan RCTI adalah untuk memperoleh informasi (motif tunggal), tapi mungkin bagi seseorng lainya adalah untuk memperoleh informasi, sekaligus juga pengisi waktu luang (motif bergabung).
Contoh lain, seseorang penonton acara “Today’s Diague” yang disiarkan oleh Metro TV mengenai topik hukum memiliki motif tunggal karena sesuai dengan profesinya, sedangkan penonton lainya memiliki motif bergabung, yakni menambah wawasan dan fungsi waktu luang. Melihat berbagai motif yang berbeda antara orang perorang maka intensitas tanggapan seseorang terhadap pesan komunikasi pun berbeda sesuai dengan jenis motifnya. Semakin sesuai pesan komunikasi dengan motivasi seseorang, semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh komunikan. Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tidak sesuai dengan motivasinya.
C.HAMBATAN SOSIOKULTURAL
1.      Aneka Etnik
Belasan ribu pulau yang membantang dari Sabang sampai Merauke merupakan kekayaan alam Indonesia yang tidak ternilai harganya Tiap-tiap pulau dihuni oleh etnik yang berbeda. Pulau-pulau besar seperti pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Papua terbagi menjadi beberapa bagian, dimana tiap bagian memiliki budaya yang berbeda. Pulau-pulau kecilyang terpencil pun umumnya memiliki budaya yang khas dan unik. Akan tetapi kekayaan Indonesia yang sering menjadi kebanggaan bangsa indonesia kadang-kadang dapat menjadi faktor menghambat dalam kegiatan komunikasi massa.
2.      Perbedaan norma sosial
Perbedaan budaya sekaligus juga menimbulkan perbedaan norma sosial yang berlaku pada masing-masing etnik. Norma sosial dapat di definisikan sebagi sesuatu cara , kebiasan, tata krama dan adat istiadat yang disampaikan secara turun temurun, yang dapat memberikan petunjuk bagi seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku dalam masyarakat.
Norma sosial mencerminkan sifat-sifat yang hidup pada suatu masyarakat dan dilaksanakan sebagai alat pengawas secara sadar dan tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Norma sosial, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya, sehingga secara langsung merupakan suatu alat agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan norma sosial tersebut. Dengan kata lain norma sosial itu dikenal, diakui dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat beragamannya norma sosial yang berlaku di Indonesia, maka tidak tertutup kemungkinan terdapat pertentangan nilai, dalam hal kebiasan dan adat istiadat yang dianggap baik bagi suatu masyarakat, dianggap tidak baik bagi masyarakat lainnya dan sebaliknya.
3.      Kurang mampu Berbahasa Indonesia
Keragaman etnik menyebabkan keragaman bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Dapat dikatakan, jumlah bahasa yang ada di Indonesia adalah sebanyak etnik yang ada. Seperti kita ketahui norma bahwa masyarakat Batak memiliki bermacam bagai memiliki berbagai macam bahasa Batak. Masyarakat di Papua, Kalimantan juga demikian keadaannya.
Kita ambil contoh, suatu saat pemerintah akan mengeluarkan kebijakan baru yang harus segera diketahui dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.Cara yang paling tepat dan cepat untuk mengomunikasikan pesan itu adalah mulai media massa(radio siaran, surat kabardan televisi). Sesuai dengan karakteristik media massa, dalam waktu bersamaan pesan akan diterima oleh sejumlah besar komunikan. Masalah akan timbul manakala komunikan tidak bisa berbahasa Indonesia, atau kemampuan berbahasa Indonesianya minimal. Ini berarti pesan tidak sampai pada mereka. Dalam menanggulangi masalah ini, penyuluh atau para petugas penyuluh, atau para opinion leader untuk mengomunikasikan kebijakan dan program pemerintah dengan menggunakan bahasa daerah setempat.      
4.      Faktor Semantik
Semantik adalah pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang sebenarnya. Jadi hambatan semantik adalah hambatan mengenai bahasa, baik bahasa yang digunakan oleh komunikator, maupun bahasa yang digunakan oleh komunikan. Hambatan semantik dalam suatu proses komunikasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk.
Pertama, komunikator salah mengucapkan kata-kata atau istilah sebagai akibat bicara terlalu cepat. Pada saat ia berbicara, pikiran dan perasaan belum terformulasikan, namun kata-kata terlanjur terucapkan. Maksudnya akan mengatakan “demokrasi” jadi “demonstrasi”, “partisipasi” menjadi “partisisapi”, “ketuhanan” menjadi “ kehutanan”, dan banyak lagi kata-kata yang sering salah diucapkan karena tergesa-gesa.
Kedua,adanya perbedaan makna dan pengertian untuk kata atau istilah yang sama sebagai akibat aspek psikologis. Misalnya kata gedang akan berarti pepaya bagi orang Sunda, namun berarti pisang menurut orang Jawa. Sedangkan untuk pepayaorang Jawa memunyai istilah lain, yakni kates. Begitu pula untuk kata-kata berikut ini, rampung (Sunda-putus, patah; Jawa-selesai, tuntas), atos (Sunda-sudah; Jawa-keras), jangan (Jawa-sayur), bujang(Sunda= membantu; Sumatera-anak laki-laki) Contoh tersebut hanya sebagian kecil dari kata-kata yang sifatnya ambigu (mengandung makna ganda) yang hidup di Indonesia.
Ketiga, adanya pengertian yang konotatif. Sebagaimana kita ketahui semantik adalah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang yang sebenarnya. Pengertian kata yang sebenarnya itu disebut pengertian denotatif, yaitu kata-kata yang lazim diterima oleh orang-orang dengan bahasa dan kebudayaan yang sama.
5.      Pendidikan Belum Merata
Penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 210 juta jiwa dan tersebar di seluruh pulau dan kepulauan nusantara. Ditinjau dari sudut pendidikan, maka tingkat pendidikan rakyat Indonesia belum merata. Di perkotaan, relatif banyak penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Tapi didesa terpencil, jangankan menyelesaikan perguruan tinggi, kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan dasar pun relatif kecil. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, namun amat disadari oleh pemerintah, sehingga untuk menanggulanginya pemerintah telah mencanangkan program pendidikan sembilan tahun.
Seperti halnya dalam menghadapi komunikan yang belum mampu berbahasa Indonesia, maka dalam menghadapi komunikan yang kurang berpendidikan, pemerintah perlu mengunakan para aparat desa, serta para opinion leader dan tenaga terlatih lainnya untuk mengomunikasikan kembali kebijakan dan program yang telah disampaikan melalui media massa dengan cara komunikasi kelompok atau antarpersona.
6.      Hambatan Mekanis
Hambatan komunikasi massa lainnya adalah hambatan teknis sebagai konsekuensi penggunaan media  massa yang dapat kita sebut sebagai hambatan mekanis. Hambatan mekanis pada media televisi terjadi pada saat stasiun atau pemancar penerima pendapat gangguan baik secara teknis maupun akibat cuaca buruk, sehingga gambar yang diterima pada pesawat televisi tidak jelas, buram, banyak garis atau tidak ada gambar sama sekali. Begitu pula hambatan mekanis pada media radio siaran, suara bisa tidak jelas, atau tidak bersuara sama sekali, atau ada suara-suara lain yang masuk. Sedangkan hambatan mekanis pada media cetak, seperti surat kabar dan majalah, dapat berupa kerusakan mesin cetak yang mengakibatkan waktu terbit terlambat sehingga terlambat pula tiba ditangan pembaca, atau cetakan tidak terbaca.
D.HAMBATAN INTERAKSI VERBAL
Devito (1984) mengemukakan tujuh jenis hambatan yang sering terjadi pada komunikasi antarpersona yang ia sebut sebagaibariers to verbal interaction. Dari ketujuh jenis hambatan interaksi verbal tersebut, beberapa diantaranya dapat pula terjadi pada komunikasi massa, namun dengan sedikit perbedaan. Apabila pada komunikasi antarpersona hambatan-hambatan itu dapat terjadi pada pihak komunikator dan komunikasi sekaligus secara bersama-sama atau masing-masing, maka pada komunikasi massa hambatan tersebut pada umumnya terjadi pada pihak komunikan. Jenis-jenis hambatan itu di antaranya adalah :
1.      Polarisasi
Polarisasi (polarization) adalah kecenderungan untuk melihatdunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentukekstrem,seperti baik atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pendidikan atau bodoh, dan lain-lain. Kita mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat titik-titik ekstrem dan mengelompokkan manusia, objek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrem.Diantara dua kutub atau dua sisi yang berlawanan itu, sebagian besar manusia atau keadaan berada di tengah-tengah. Di antara yang sangat miskin dan yang sangat kaya, kenyatannya lebih banyak yang sedang-sedang saja. Di antara yang sangat baik dan sangat buruk, lebih banyak yang cukup baik. Begitu pula, di antara pro dan kontra terhadap partai politik tertentu, biasanya lebih banyak yang biasa-biasa saja. Kedua beleh pihak tidak baik mempunyai sikap, ini kawan itu lawan”. Seandainya komunikator maupun kemunikan melihat dunia seperti itu, maka sudah dapat dipastikan diantara keduanya selalu akan terjadi sikap apriori. Sementara kita mengetahui bahwa untuk terciptanya komunikasi yang baik, komunikator dan komunikan harus bersikap netral. Kedua belah pihak tidak dapat berpendapat bahwa “itu lawan ini kawan”.
2.      Orientasi Intensional
Orientasi intensional (intensional orientation) mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, objek dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya  sendiri. Dalam proses komunikasi  massa, orientasi intensional biasanya dilakukan oleh komunikan terhadap komunikator, bukan sebaliknya. Misalnya, seorang presenter yang berbicara di layar televisi, dan kebetulan wajah presenter tersebut tidak menarik (kurang cantik/ganteng) maka biasanya komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum kita mendengar apa yang dikatakannya. Cara mengatasi orentasi intensional adalah dengan ekstensionalisasi, yaitu dengan memberikan perhatian utama kita pada manusia, benda atau kejadian-kejadian di dunia ini sesuai dengan apa yang kita lihat.
3.      Evaluasi statis
Pada suatu hari kita melihat seorag komunikator X berbicara melalui pesawat televisi. Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi yang dikemukakan komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itupun tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator X bersifat statis tetap seperti itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar komunikator X dari waktu ke waktu dapat berubah, sehingga beberapa tahun kemudian ia dapat menyampaikan pesan secara baik dan menarik.
4.      Indiskriminasi
Indiskriminasi (indiscrimination) terjadi bila kita (komunikan) memusatkan perhatian pada kelompok orang, benda atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Stereotip adalah gambaran mental yang menetap tentang kelompok tertentu yang kita anggap berlaku untuk setiap orang (anggota) dalam kelompok tersebut tampa memperhatikan adanya kekhasan orang yang bersangkutan. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negatif, masalah yang ditimbulkan tetap sama. Sikap ini membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tetap.
Jadi, dalam indiskriminasi jika komunikan dihadapkan dengan seorang komunikator, reaksi pertama komunikan itu adalah memasukkan komunikator itu ke dalam kategori tertentu, mungkin menurut kebangsaan, agama atau disiplin ilmu. Misalnya komunikator itu dari suku Batak, maka komunikan memberi gambaran suku Batak itu berkarakter keras. Atau bila komunikator itu dari disiplin ilmu hukum, komunikator memberi gambaran komunikator bersifat kaku dan terlalu detail. Pada akhirnya, apa pun macamkategori yang digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.
Salah satu cara untuk menghindari indiskriminasi adalah memberikan indeks, yaitu mengidentifikasi setiap orang sebagai individual. Meskipun dua individu,mereka dapat dikelompokkan dalam label yang sama, misalnya politisi 1 bukanlah politisi 2, komunikator 1 bukanlah komunikator 2, dan sebagainya. Indeks ini membantu kita membedakan (mendiskriminasikan) orang tanpa perlu menyisihkannya dari kelompok dimana ia menjadi anggota.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah tadi dapat kita simpulakan tentang hambatan-hambatan dalam komunikasi massa. Dari segi gangguan yaitu gangguan sematik, gangguan saluran dan gangguan lingkungan, kemudian ada beberapa hambatan lainnya yaitu hambatan psikologis yang mempengaruhi kejiwaan seseorang, hambatan sosiokultural yaitu hambatan yangberkaitan dengan kehidupan sosial dan budaya didaerah setempat, dan hambatan interaksi verbal yaitu hambatan yang proses interaksi secara langsung.
Dalam menghadapi hambatan-hambatan ini, para public speaking atau komunikator harus mampu mengatasinya agar pesan yang akan di sampaikan kepada komunikan dapat tersampaikan sesuai keinginan.

HAMBATAN KOMUNIKASI MASSA SECARA UMUM
Hambatan dapat diartikan sebagai halangan atau rintangan yang dialami (Badudu-Zain, 1994:489), Dalam konteks komunikasi dikenal pula gangguan (mekanik maupun semantik), Gangguan ini masih termasuk ke dalam hambatan komunikasi (Effendy, 1993:45), Efektivitas komunikasi salah satunya akan sangat tergantung kepada seberapa besar hambatan komunikasi yang terjadi.
Didalam setiap kegiatan komunikasi, sudah dapat dipastikan akan menghadapai berbagai hambatan. Hambatan dalam kegiatan komunikasi yang manapun tentu akan mempengaruhi efektivitas proses komunikasi tersebut. Karena pada pada komunikasi massa jenis hambatannya relatif lebih kompleks sejalan dengan kompleksitas komponen komunikasi massa. Dan perlu diketahui juga, bahwa komunikan harus bersifat heterogen.
Oleh karena itu, komunikator perlu memahami setiap hambatan komunikasi, agar ia dapat mengantisipasi hambatan tersebut.
1. HAMBATAN PSIKOLIGIS
Hambatan psikologis yakni hambatan-hambatan yang merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia.sedangkan yang termasuk dalam hambatan komunikasi psikologis yakni:
Ó Hambatan Psikologis Kepentingan (Interest)
1. Kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati pesan.
2. Sebagaimana telah diketahui bahwa komunikan dalam komunikasi massa sangat heterogen (usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dll). Hal ini memungkinkan setiap individu komunikan memiliki kepentingan yang berbeda
3. Atas dasar kepentingan yang berbeda, maka setiap individu komunikan akan melakukan seleksi terhadap pesan yang diinginkannya (manfaat/kegunaan).
Ó Hambatan Psikologis Prasangka (Prejudice)
1. Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau sekelompok orang lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka.
2. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan
3. Persepsi ditentukan oleh faktor personal (fungsional): kebutuhan, pengalaman masa lalu, peran dan status.
4. Persepsi ditentukan oleh faktor situasional (struktural): Jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat menilai fakta-fakta yang terpisah; kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan
5. Apabila suatu proses komunikasi sudah diawali oleh kecurigaan (prasangka) maka tidak akan efektif.
Ó Hambatan Psikologis Stereotif (Stereotype)
1. Prasangka sosial bergandengan dengan stereotif yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif.
2. Stereotif misalnya tercermiun pada: orang Batak itu berwatak keras, orang Sunda manja, dll.
3. Apabila dalam proses komunikasi massa ada komunikan yang memiliki stereotif tertentu pada komunikatornya, maka dapat dipastikan pesan apapun tidak akan bisa diterima oleh komunikan.
2. HAMBATAN SOSIOKULTURAL
Ó Hambatan Sosiokultural Aneka Etnik
1. Untuk kasus Indonesia, terdapat ribuan pula dari Sabang sampai Merauke.
2. Satu sisi kenyataan tersebut menjadi kekayaan yang tak terhingga nilainya. Namun di sisi lain realitas tersebut menjadi salah satu faktor penghambat dalam kegiatan komunikasi massa.
Ó Hambatan Sosiokultural Perbedaan Norma Sosial
1. Perbedaan budaya sekaligus juga menimbulkan perbedaan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
2. Pada konteks seperti itu, komunikator komunikasi massa harus bersikap hati-hati, terutama dalam menyusun pesan. Dalam arti apakah pesan yang akan disampaikan tidak akan melanggar norma sosial tertentu.
3. Komunikator perlu membekali dirinya dengan beragam pengetahuan mengenai norma sosial yang berlaku di masyarakat luas.
Ó Hambatan Sosiokultural Kurang Mampu Berbahasa Indonesia
1. Keragaman etnik menyebabkan keragaman bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari.
2. Pada gilirannya dapat menyulitkan penyebarluasan kebijakan program-program pemerintah yang dikomunikasikan melalui media massa.
Ó Hambatan Sosiokultural Faktor Semantik
1. Semantik adalah pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang sebenarnya. Hambatan semantik adalah hambatan mengani bahasa.
2. Hambatan semantik dapat diakibatkan oleh tiga hal: komunikator terlalu cepat dalam berbicara, adanya perbedaan makna kata, dan adanya pengertian yang konotatif.
Ó Hambatan Sosiokultural Faktor Pendidikan
1. Khalayak dalam komunikasi massa bersifat heterogen, salah satunya pada aspek pendidikan.
2. Masalah akan timbul manakala komuniian yang berpendidikan rendah tidak dapat mencerna pesan komunikasi massa secara benar karena keterbatasan daya nalar dan daya tangkapnya.
Ó Hambatan Sosiokultural Faktor Mekanis
1. Faktor mekanis merujuk kepada berbagai hambatan pada komunikasi massa yang disebabkan oleh terganggunya peralatan.
2. Pada TV misalnya, antena kurang dapat menangkap sinyal gelombang elektromagnetik, warna tidak jelas, layar banyak “semutnya”, dll.
3. Pada radio, misalnya suara yangtidak jelas (putus-putus, dll).
4. Pada surat kabar dan majalah, misalnya huruf tidak jelas, salah pemotongan kata, sambungan berita yang tidak akurat, dll.
3. HAMBATAN INTERAKSI VERBAL
Ó Hambatan Interaksi Verbal Polarisasi
1. Polarization adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrem, seperti baik atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, dll.
2. . Kita mempunyai kecendeungan kuat untuk melihat titik-tritik ekstrem dan mengelompokkan manusia, objek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrem. Sementara banyak juga orang-orang berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut.
3. Seandainya komunikator maupun komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan harus bersikap netral.
Ó Hambatan Interaksi Verbal Orientasi Intensional
1. Intensional orientation mengacu kepada kecenderungan kita untuk melihat manusia, objek dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka.
2. Intensional orientation terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri.
3. Dalam proses komunikasi massa, orientasi intensional biasanya dilakukan oleh komunikan terhadap komunikator, bukan sebaliknya.
4. Misalnya, seorang presenter yang berbicara di layar tv, dan kebetulan wajah presenter tersebut kurang menarik, maka biasanya komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengar apa yang dikatakannya.
5. Cara mengatasinya yaitu dengan cara ekstensionalisasi, yaitu dengan memberikan perhatian utama kita pada manusia, benda atau kejadian-kejadian di dunia ini sesuai dengan apa yang kita lihat.
Ó Hambatan Interaksi Verbal Evaluasi Statis
1. Pada suatu ketika kita melihat seorang komunikator X berbicara melalui pesawat tv. Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materinya tidak baik, sehingga kita membat abstraksi tentang komunikator tersebut tidak baik.
2. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis (tidak berubah). Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar komunikator tersebut. Padahal sangat mungkin gaya komunikator tersebut berubah menjadi lebih baik dan menarik.
Ó Hambatan Interaksi Verbal Indiskriminasi
1. Indiscrimination terjadi bila komunikan memusatkan perhatian kepada kelompok orang, benda atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual.
2. Indiscrimination merupakan bagian dari stereotif (sikap generalisasi).
3. Dalam indiskriminasi, jika komunikan dihadapkan dengan seorang komunikator, reaksi pertama komunikan itu adalah memasukan komunikator ke dalam kategori tertentu, mungkin menurut suku, agama, dll. Misalnya orang Batak cenderung berwatak keras.
4. Cara untuk menghilangkan indiskriminasi yaitu dengan cara memandang seseorang secara individual.



DAFTAR PUSTAKA
Elvinaro Ardianto dkk. 2009.  Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Bandung:Simbiosa Rekatama Media
Vivian, John. 1991. Teori Komunikasi Massa. Jakarta:Kencana Predana Media Group, Edisi Delapan